Proses Morfologis Bahasa Dayak Wehea
Jumat, 08 Maret 2013
5
komentar
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang terdiri atas berbagai suku dan kelompok etnis.
Suku dan kelompok etnis ini memiliki kebudayaan yang beragam. Salah satu unsur
budaya yang dimiliki oleh masyarakat adalah bahasa. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting. Bahasa
merupakan sarana untuk mengaktualisasikan diri bagi masyarakat suku-suku dan
kelompok etnis suatu bangsa. Dayak merupakan salah satu suku yang berada di
wilayah Kalimantan. Berdasarkan data pada Majalah Kalawarta, “Ada 800-an Suku Dayak yang tersebar di Kalimantan.”
(Juni 2006:5). Suku Dayak merupakan suku yang memiliki keanekaragaman budaya
baik dari segi bahasa maupun adat istiadat yang berlaku dalam komunitas mereka.
Suku Dayak di Kalimantan memiliki keanekaragaman bahasa.
Walaupun sama-sama Suku Dayak, bahasa yang mereka gunakan dalam komunikasi
sehari-hari akan berbeda antara masyarakat Dayak yang berada di Sungai Mahakam
dengan masyarakat Dayak yang berada di Sungai Kapuas. Provinsi Kalimantan Timur
merupakan salah satu wilayah populasi masyarakat Suku Dayak. Masyarakat suku
Dayak memiliki ciri khas hidup di pinggiran sungai. Salah satunya di hulu
Sungai Mahakam dan di hulu anak Sungai Mahakam yaitu Sungai Wahau dan Sungai
Telen. Sungai Wahau dan Sungai Telen merupakan wilayah populasi Suku Dayak
Wehea (Kalawarta, Juni 2006: 5)
Leluhur Suku Dayak berasal dari Yunan, China Selatan yang
bermigrasi ke Kalimantan secara bergelombang. Hal itu diperkirakan berlangsung
sejak 3000-1500 SM. Mula-mula Suku Dayak mendiami tepian Sungai Kapuas dan
Sungai Mahakam, dan pantai-pantai di Kalimantan. Namun kedatangan Bangsa Melayu
dari Sumatera dan Semenanjung Malaya memaksa mereka untuk pindah ke hulu sungai
antara lain hulu Sungai Kayan. Kelompok masyarakat yang mendiami hulu Sungai
Kayan ini terus bergerak dan berpindah mencari tempat baru. ada yang menyebar
dan menetap di sekitar Sungai Skung, inilah cikal bakal keberadaan Suku Dayak
Wehea.”(Kalawarta, Juni 2006:5).
Suku Dayak Wehea merupakan Suku Dayak minoritas yang
mempunyai populasi sekitar 2.214 jiwa yang tersebar di enam desa yang menempati
Kecamatan Muara Wahau, Telen, dan Kong Beng. Namun Suku Dayak Wehea tidak
tercatat sebagai salah satu Suku Dayak di Kalimantan.Masyarakat luar sering
mengelompokkan mereka sebagai Suku Dayak Modang bahkan seorang Sultan Kutai
mengelompokkan Wehea ke dalam Suku Dayak Bahau. Hal ini terjadi karena
masyarakat Wehea terkesan kurang pergaulan dan tidak memiliki keinginan untuk
memperkenalkan diri. Para pendahulu dan pemuka Wehea pada masa lalu tidak
memikirkan identitas. Keadaan ini diperburuk oleh ketidakpedulian sejumlah
tokoh Wehea untuk memikirkan sekolah bagi generasi mudanya sehingga masyarakat
Wehea tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk memperkenalkan Suku
Dayak Wehea ke masyarakat luar. Ketidakpedulian pada identitas diri pada
masyarakat Wehea sampai kini masih bisa kita rasakan. Penyebutan nama Kecamatan
Muara Wahau yang hingga kini masih digunakan. Kata “Wahau” sebenarnya istilah
orang luar yang sulit menyebut Wehea dengan Bahau (Taq, 2006: 6).
Dalam
penelitian ini, penulis mendeskripsikan salah satu kajian linguistik.
Linguistik adalah ilmu tentang bahasa (Kridalaksana, 2001:128). Linguistik
berarti ilmu bahasa (Verhaar, 2001:3). Ilmu linguistik sering disebut
“linguistik umum”. Artinya ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu
bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan
memakai istilah Ferdinand De Saussure dapat dirumuskan bahwa ilmu linguistik
tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi langage itu, yaitu bahasa
pada umumnya (Verhaar, 2001:4). Setiap ilmu pengetahuan lazim terdiri atas
bidang-bidang keilmuan. Linguistik umum juga memiliki tataran-tataran
linguistik dari yang terkecil sampai yang terbesar. Adapun cabang-cabang
linguistik antara lain fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik.
Dalam penelitian ini, penulis mendeskripsikan kajian linguistik dari tataran
morfologi, yaitu afiksasi. Penulis mengkhususkan pada pokok permasalahan afiksasi
karena afiksasi memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan tataran yang
lain. Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata yang lebih
kompleks (Kridalaksana, 1996:28). Dalam afiksasi, kita bisa menemukan afiks
dari suatu bahasa. Kita bisa menemukan proses melekatnya afiks dengan morfem
sehingga kita bisa menyimpulkan sebuah teori baru yang dapat memudahkan orang
lain mempelajari bahasa tersebut.
Penelitian
terhadap bahasa Dayak Wehea yang penulis ketahui hingga hari ini adalah Afiksasi Bahasa Dayak Wehea yang
merupakan skripsi penulis pada Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah,
FKIP, Universitas Mulawarman pada tahun 2008. Penulis meneliti BDW karena
penulis pernah tinggal dan berbaur dengan masyarakat Dayak Wehea selama 2 bulan
dalam rangka program kampus yaitu Kuliah Kerja Nyata angkatan XXXII tahun 2006
di Kecamatan Muara Wahau Desa Jak Luay. Nama asli dari Desa Jak Luay adalah
Diaq Leway, namun data administrasi menggunakan nama Jak Luay. Penulis meneliti
bahasa Dayak wehea dalam rangka memberikan sumbangan pikiran kepada masyarakat
Wehea dalam bentuk deskripsi BDW agar masyarakat wehea dapat mempelajari bahasa
mereka dengan mudah. Penelitian ini juga penulis maksudkan untuk menumbuhkan
minat kepada masyarakat Wehea untuk mencintai budaya mereka salah satunya,
yaitu bahasa.
Dalam
penelitian ini, pada tataran sebelumnya, penulis meneliti struktur BDW dari tataran
morfologi, yaitu afiksasi. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan pada
tataran yang lebih tinggi. Adapun tataran yang menjadi fokus penelitian, yaitu:
mendeskripsikan proses morfologis dalam BDW.
B.
Ruang
Lingkup Penelitian
Penelitian
ini dilakukan untuk mendeskripsikan proses morfologis BDW di Kecamatan Muara
Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini,
penulis mendeskripsikan BDW yang terdiri dari proses afiksasi, proses reduplikasi,
proses pemajemukan, dan proses morfologis.
C.
Fenomena
dan Fokus
1.
Fenomena
Bahasa Dayak Wehea
(BDW) merupakan suku minoritas dalam Suku Dayak. Terkadang mereka dikelompokkan
bersama dengan suku-suku Dayak yang lebih besar, yaitu Suku Dayak Modang dan
Suku Dayak Bahau. Keinginan Suku Dayak Wehea untuk menunjukkan identitasnya dan
mengaktualisasikan suku mereka pada suku-suku Dayak yang lain. Kondisi ini
menjadi penting untuk mendeskripsikan bahasa Dayak Wehea sebagai identitas suku
mereka.
2.
Fokus
Dalam penelitian ini,
penulis memfokuskan penelitian pada proses morfologis BDW yang terdiri dari:
a. Bagaimana
proses pengimbuhan (afiksasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara
Wahau, Kutai Timur?
b. Bagaimana
proses pengulangan (reduplikasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara
Wahau, Kutai Timur?
c. Bagaimana
proses pemajemukan (komposisi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara
Wahau, Kutai Timur?
d. Bagaimana
proses morfologis dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai
Timur?
D.
Tujuan
Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam penelitian
ini, sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
proses pengimbuhan (afiksasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara
Wahau, Kutai Timur.
2. Mendeskripsikan
proses pengulangan (reduplikasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara
Wahau, Kutai Timur.
3. Mendeskripsikan
proses pemajemukan (komposisi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara
Wahau, Kutai Timur.
4. Mendeskripsikan
proses morfologis dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai
Timur.
E.
Manfaat
Penelitian
Adapun penelitian ini
bermanfaat sebagai berikut:
1.
Sebagai
upaya melestarikan dan mendokumentasikan BDW.
2.
Sebagai upaya memperkenalkan BDW kepada
masyarakat dayak pada khususnya dan masyarakat suku lain pada umumnya.
3.
Sebagai bahan informasi bagi masyarakat
Dayak Wehea agar mereka dapat mempelajari dan memahami bahasanya dari segi
struktur bahasa.
4.
Sebagai bahan informasi bagi peneliti
bahasa yang ingin meneliti BDW pada tataran linguistik yang lain.
BAB
II
KAJIAN
PUSTAKA
A.
Penelitian
Terdahulu
Penelitian ini merukan
penelitian lanjutan penulis yang berjudul Afiksasi
Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau. Dalam penelitian sebelumnya
ini, penulis mendeskripsikan afks apa saja yang terdapat dalam Bahasa Dayak
Wehea, proses melekatnya afiks pada bentuk dasar, dan makna yang ditimbulkan
dari proses melekatnya afiks pada bentuk dasar.
“Dari penelitian yang dilakukan dapat
dikemukakan bahwa BDW hanya memiliki satu bentuk afiks, yaitu prefiks. Adapun
prefiks dalam BDW ada tujuh prefiks, yaitu {kot-}, {te-}, {guang-}, {le-},
{nge-}, {sun-}, dan{ne-}. Pada afiks {nge-} terdapat 3 morf,
yaitu: {eng-}, {nge-}, {e-}” (Panga, 2008: 44).
Dalam BDW, proses morfofonemis terjadi pada proses hilangnya fonem,
proses perubahan fonem, dan proses penambahan fonem. Akibat pertemuan
prefiks-prefiks tersebut dengan bentuk dasarnya menyatakan makna dari prefiks
tersebut.
”Prefiks kot- menyatakan
makna ‘akan melakukan perbuatan sesuai dengan bentuk dasarnya’. Prefiks te-
menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang aktif lagi transitif’. Prefiks le-
menyatakan makna ‘proses’. Prefiks guang- menyatakan makna ‘ tempat atau
lubang’. Prefiks eng- menyatakan makna ‘perintah atau anjuran’. Prefiks sun-
menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang pasif’. Prefik ne- menyatakan makna ‘suatu perbuatan aktif’” (Panga, 2008: 45-49).
B.
Konsep
Penelitian
Teori
yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori linguistik struktural. Teori
struktural memandang bahasa sebagai suatu kesatuan sistem yang memiliki strukur
tersendiri. Struktur itu menandai kehadiran suatu bahasa yang membedakan dengan
bahasa lain. Setiap struktur bahasa mencakup bidang fonologi, morfologi, dan
sintaksis. Pada dasarnya struktur tataran yang lebih tinggi selalu lebih rumit
daripada tataran yang lebih rendah. Oleh karena itu, proses pemerian pada tataran yang lebih tinggi memerlukan bantuan
analisis tataran yang setingkat lebih rendah. Dalam penelitian ini, penulis meneliti tataran morfologi
pada afiksasi Bahasa Dayak Wehea.
Dalam
buku Metode Penelitian Suatu pendekatan
Proposal diungkapkan pendapat Dr. Siswojo tentang definisi teori, “teori
dapat diartikan sebagai perangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan
yang mencerminkan suatu pandangan sistemik mengenai fenomena dengan menerapkan
hubungan antara variabel dengan tujuan untuk menerangkan dan meramalkan
fenomena. Beliau juga mengatakan bahwa “teori menjalin hasil pengamatan ke
dalam suatu pengertian utuh yang memungkinkan ilmuwan untuk membuat pernyataan
umum tentang variabel-variabel dan hubungannya. (Mardalis, 1989:41)
1. Morfem
Morfem ialah satuan gramatik yang
paling kecil; satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya
(Ramlan, 1997:32). Satuan
terkecil atau satuan gramatikal terkecil dari bahasa disebut morfem. Sebagai
suatu satuan gramatikal, morfem itu bermakna. Istilah terkecil mengisyaratkan
bahwa satuan gramatikal (morfem) itu tidak dapat dibagi lagi menjadi satuan
yang lebih kecil yang bermakna (Ahmad HP, 1996:56). Morfem adalah satuan bahasa
terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian
bermakna yang lebih kecil (Kridalaksana, 1993:141). Menurut A. Chaedar
Alwasilah, “Definisi morfem sebagai satuan bentuk terkecil yang mempunyai
arti”. (1986:101).
Dalam buku morfologi
dikutip pendapat tokoh linguistik Amerika yang memberikan definisi tentang
morfem. Adapun
kutipan tentang definisi morfem adalah sebagai berikut:
a. Bloomfield
memberikan definisi morfem sebagai berikut: “A linguistik form which bears no partial phonetic-semantic resemblance
to any other form, is a simple form or a morpheme”. Terjemahannya sebagai
berikut: “Satu bentuk bahasa yang sebagiannya tidak mirip dengan bentuk lain
mana pun juga, baik bunyi maupun arti adalah bentuk tunggal atau morfem”.
b. Charles
F. Hockett memberikan definisi morfem sebagai berikut: “morphemes are the
smallest individually meaningfull element in the utterences of a language”. Terjemahannya sebagai berikut
“morfem adalah unsur-unsur yang terkecil yang masing-masing mempunyai makna
dalam tutur sebuah bahasa (Parera, 1994:14-15).
Dari definisi-definisi di atas penulis dapat menyimpulkan
bahwa morfem adalah satuan gramatik yang terkecil; satuan gramatik yang tidak
mempunyai satuan lain sebagai unsurnya.
Morfem
dibedakan menjadi dua, yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Dalam buku Asas-asas Linguistik Umum diungkapkan,
bentuk “bebas” secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri,
artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat
dipisahkan dari bentuk-bentuk “bebas” dalam tuturan, sedangkan morfem terikat
adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan yang hanya dapat meleburkan
diri pada morfem yang lain. (Verhaar, 2001:97). Misalnya tertanam, berlari, dibawa, berbunyi, memakan, dan lain-lain. Kata tanam, lari, bawa, bunyi, dan makan merupakan morfem bebas, sedangkan ter-, di-, ber, dan me- merupakan morfem
terikat.
2.
Deretan Morfologik
Deretan
morfologik ialah suatu deretan atau suatu daftar yang memuat kata-kata yang
berhubungan dalam bentuk dan artinya (Ramlan, 1997:34). Untuk mengetahui apakah
kata itu terdiri dari satu morfem atau beberapa morfem, haruslah kata itu
diperbandingkan dengan kata-kata lain dalam deretan morfologik. Deretan morfologik amat berguna dalam penentuan
morfem-morfem. Misalnya kita dapati kata berlari,
pelari, berlarian, pelarian, melarikan, maka deretan morfologiknya sebagai
berikut:
berlari
pelari
berlarian
pelarian
melarikan
lari
Dari perbandingan kata-kata yang
terdapat dalam deretan morfologik di atas, dapat disimpulkan adanya morfem lari sebagai unsur yang terdapat pada
tiap-tiap anggota deretan morfologik, hingga dapat dipastikan bahwa kata berlari terdiri dari morfem lari dan morfem ber-, pelari terdiri dari morfem lari dan pe-, berlarian terdiri
dari morfem lari dan ber-an, pelarian terdiri dari morfem lari dan pe-an, melarikan terdiri dari morfem lari, dan meN–kan.
3.
Proses Morfologis
Proses
morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan
bentuk dasarnya. Bentuk dasarnya itu mungkin berupa kata, mungkin berupa pokok
kata, mungkin berupa frase, mungkin berupa kata dan kata, mungkin berupa kata
dan pokok kata, mungkin berupa pokok kata dan pokok kata (Ramlan, 1997:51).
Pada umumnya proses
morfemis atau proses morfologis dibedakan atas (1) proses morfemis afiksasi,
(2) proses morfemis pergantian atau perubahan internal, (3) proses morfemis
pengulangan, (4) proses morfemis zero, (5) proses morfemis suplesi, (6) proses
morfemis suprasegmental (Parera, 1994:18).
Dalam buku Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia,
“proses morfologis dibedakan atas (1) derivasi zero, (2) afiksasi, (3)
reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan), (5) komposisi (perpaduan), (6)
derivasi balik, (7) metanalisis.” (Kridalaksana, 1996:12).
Proses morfologis
merupakan cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu
dengan morfem yang lain. Dengan kata lain, proses morfologis ialah proses
penggabungan morfem-morfem menjadi kata. Proses morfologis meliputi lima
proses, yaitu afiksasi, reduplikasi, perubahan, intern, suplisi, dan modifikasi
kosong (Samsuri, 1991: 190-194).
“Proses morfologis
sebagai pembentukan kata-kata dari bentuk lain yang merupakan bentuk dasarnya.
Ada tiga macam proses morfologis yaitu afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan”
(Ramlan, 1997: 27). “Proses pembentukan kata dapat dilakukan dengan beberapa
cara, antara lain dengan afiksasi, pengulangan, dan pemajemukan” (Diah, 1999:
4).
Ada tiga prinsip pokok
untuk mengenal morfem. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1) bentuk-bentuk yang
berulang yang mempunyai pengertian yang sama termasuk morfem yang sama; 2)
bentuk-bentuk yang mirip (susunan fonem-fonemnya) yang mempunyai pengertian
yang sama termasuk morfem yang sama, apabila perbedaan-perbedaannya dapat
diterangkan secara fonologis; dan 3) bentuk-bentuk yang berbeda susunan-susunan
fonemnya, yang tidak dapat diterangkan secara fonologis perbedaan-perbedaannya,
masih bisa dianggap sebagai alomorf-alomorf daripada morfem yang sama atau
mirip, asal perbedaan-perbedaan itu bisa diterangkan secara morfologis (Samsuri,
1991: 17).
4.
Afiksasi
“Afiksasi adalah proses
pembubuhan afiks pada sesuatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal
maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata.” Ramlan menjelaskan bahwa setiap
afiks berupa satuan terikat, dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri
dan secara gramatikal selalu melekat pada satuan lain, serta kemungkinan
melekatnya pada satuan lain lebih banyak. (Ramlan, 1997:54)
Afiksasi
adalah proses mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem
(1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata
(atau bila telah berstatus kata berganti kategori), (3) sedikit banyak berubah
maknanya (Kridalaksana, 1996:28).
Afiksasi
adalah proses penambahan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar (Ahmad HP,
1996:68). Afiksasi adalah pengimbuhan afiks (Verhaar, 2001:107). Proses
afiksasi terjadi apabila sebuah morfem terikat dibubuhkan atau dilekatkan pada
sebuah morfem bebas secara urutan lurus (Parera, 1994:18).
Afiks
ialah satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang
bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada
satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru (Ramlan, 1997:55).
Setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak
dapat berdiri sendiri, dan secara
gramatik selalu melekat pada satuan lainnya (Ramlan, 1997:56).
Jenis-jenis afiks
secara tradisional dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. prefiks,
yaitu afiks yang diletakkan di muka dasar.
{me-}, {pe-}, {ber-}, {se-}, {di-},
{ke-}. (prefiks BI).
{kot-},{te-}, {guang-}, {le-},
{eng-}, {sun-}, dan{ne-}.(prefiks BDW).
b. Infiks,
yaitu afiks yang diletakkan di tengah bentuk dasar.
c. sufiks,
yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar.
d. simulfiks,
yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan
pada bentuk dasar.
e. konfiks,
yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan satu di
belakang bentuk dasar.
f. superfiks
atau suprafiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri
suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental.
g.
interfiks,
yaitu jenis afiks yang muncul di antara dua unsur.
h.
transfiks,
yaitu jenis infiks yang menyebabkan dasar menjadi terbagi.
i.
kombinasi
afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar
(Kridalaksana, 1996:28-31).
Akibat
pertemuan afiks-afiks dengan bentuk dasarnya akan timbullah berbagai makna
(Ramlan, 1997:110). Dalam bahasa Indonesia, akibat pertemuan afiks meN- dengan
bentuk dasarnya, maka akan timbul makna sebagai berikut:
a. Apabila bentuk dasarnya berupa pokok kata, afiks meN-
menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang aktif lagi transitif’ maksudnya
perbuatan itu dilakukan oleh pelaku yang menduduki subyek dan lagi menuntut
adanya obyek. Makna ini terdapat pada kata-kata mengambil, menulis, memukul, dll.
b. Apabila
bentuk dasarnya berupa kata sifat, Afiks meN- menyatakan makna ‘menjadi seperti
keadaan yang tersebut pada bentuk dasarnya atau dengan singkat dapat dikatakan
menyatakan makna ‘proses’. Misalnya, kata melebar
mempunyai makna ‘menjadi lebar’.
c. Apabila
bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks meN- menyatakan berbagai makna
seperti ‘memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, berlaku atau menjadi
seperti apa yang tersebut pada bentuk dasar, menuju ke tempat yang tersebut pada
bentuk dasar, membuat apa yang tersebut pada bentuk dasar, dan lain-lain. Makna-makna ini dirangkum dalam satu makna ‘melakukan
tindakan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya,
kata menepi mempunyai makna ‘menuju
ke tepi’.
d. Pada
kata mengantuk dan menyendiri afiks meN- menyatakan makna
‘dalam keadaan’, atau boleh juga dikatakan menyatakan makna ‘statif’.
Akibat
pertemuan afiks peN- dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna-makna
sebagai berikut:
- Apabila bentuk dasarnya berupa pokok kata, afiks peN- menyatakan makna ‘yang (pekerjaannya) melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata pembaca mempunyai makna ‘yang (pekerjaannya) membaca’.
- Di samping makna nomor 1 di atas, afiks peN- menyatakan makna ‘alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata pemukul mempunyai makna ‘alat untuk memukul’.
- Apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat, afiks peN- menyatakan makna ‘yang memiliki sifat yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata pemalu mempunyai makna ‘yang memiliki sifat malu’.
- Selain makna yang tersebut pada nomor 3 di atas, apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat, afiks peN- menyatakan makna ‘ yang menyebabkan adanya sifat yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata penguat mempunyai makna ‘yang menyebabkan jadi kuat; yang menguatkan’.
- Apabila bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks peN- menyatakan makna ‘yang (pekerjaannya) melakukan perbuatan berhubung dengan benda yang tersebut pada bentuk dasarnya’. Misalnya, kata pelaut mempunyai makna ‘yang (pekerjaannya) melakukan pekerjaan di laut’.
Akibat
pertemuan afiks –i dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna-makna sebagai
berikut:
a. Menyatakan bahwa ‘perbuatan yang tersebut pada bentuk
dasaritu dilakukan berulang-ulang’. Misalnya, kata memukuli mempunyai makna ‘berulang-ulang
memukul’.
b. Menyatakan makna ‘memberi apa yang tersebut pada bentuk
dasar pada…’. Misalnya, kata menyampuli
(buku) mempunyai makna ‘memberi sampul pada (buku)’.
c. Obyeknya
menyatakan ‘tempat’. Misalnya, kata menduduki
mempunyai obyek yang menyatakan tempat.
Akibat
pertemuan afiks ke-an dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna-makna
sebagai berikut:
a. Menyatakan ‘suatu abstraksi atau hal, baik abstraksi dari
suatu perbuatan maupun dari suatu sifat keadaan’. Misalnya,
kata kebaikan mempunyai makna ‘hal
baik’.
b.
Menyatakan
‘hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang tersebut pada bentuk dasar’.
Misalnya, kata (masalah) kewanitaan
mempunyai makna ‘hal-hal yang berhubungan dengan masalah wanita’.
c. Menyatakan
makna ‘dapat dikenai perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar’ atau dengan
kata lain menyatakan makna ‘dapat di…’. Misalnya, kata kelihatan mempunyai makna ‘dapat dilihat’.
d. Menyatatakan
makna ‘dalam keadaan tertimpa akibat perbuatan, keadaan, atau hal yang tersebut
pada bentuk dasar’. Misalnya, kata kehujanan mempunyai makna ‘dalam keadaan
tertimpa hujan’.
e. Menyatakan
makna ‘tempat atau daerah’. Misalnya, kata kelurahan
mempunyai makna ‘tempat lurah; daerah lurah’.
Afiks di- hanya
memiliki satu fungsi ialah membentuk kata kerja pasif berbeda dengan afiks meN-
yang mempunyai fungsi membentuk kata kerja aktif. Akibat pertemuan afiks di-
dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna ‘suatu perbuatan yang pasif’.
Akibat pertemuan afiks
ber- dengan bentuk dasarnya, timbullah berbagai makna, yang dapat digolongkan sebagai berikut:
a. Menyatakan
makna ‘suatu perbuatan yang aktif’, makna ini pada umumnya terdapat pada kata
berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa pokok kata dan kata kerja. Misalnya
pada kata-kata bersandar, bekerja,
belajar, berjuang, dan lain sebagainya.
b. Pada
kata-kata berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa kata sifat, afiks ber-
menyatakan makna ‘dalam keadaan’ atau ‘statif’. Misalnya pada kata-kata bersedih, bergembira, berbahagia, dan
lain sebagainya.
c. Pada
kata-kata yang berbentuk dasar kata bilangan afiks ber- menyatakan makna
‘kumpulan yang terdiri dari jumlah yang tersebut pada bentuk dasar’, kecuali
pada kata bersatu yang menyatakan
makna ‘menjadi satu’. Misalnya pada kata-kata berdua, bertiga, berempat, dan lain sebagainya.
d. Apabila
bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks ber- mempunyai berbagai kemungkinan
makna, misalnya ‘memakai, mengeluarkan, mengusahakan apa yang tersebut pada bentuk dasar’.
Misalnya pada kata-kata berbaju,
bersepeda, bersuara, berladang, dan lain sebagainya.
e. Selain
menyatakan makna seperti nomor 4 di atas, apabila bentuk dasarnya berupa kata
nominal, afiks ber- menyatakan makna ‘mempunyai apa yang tersebut pada bentuk
dasar’. Misalnya pada kata-kata berumah,
berayah, berpenyakit, dan lain sebagainya.
5. Reduplikasi
Reduplikasi adalah
pengulangan bentuk akata, baik seluruhnya maupun sebagian. Suatu kata dikatakan
reduplikasi bila ada bentuk yang harus diulangi untuk mengeraskan arti, memberi
tekanan, atau untuk memperjelas makna. Pada umumnya reduplikasi terdiri dari tiga
bentuk, yakni reduplikasi penuh, reduplikasi dengan modifikasi, dan reduplikasi
partial atau pengulangan sebagian (Mandaru, 1998: 52).
“Reduplikasi adalah
pengulangan satuan gramatika, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan
variasi fonem maupun tidak” (Ramlan, 1997: 63). “Reduplikasi merupakan salah
satu wujud proses morfologis. Reduplikasi sebagai proses morfemis yang
mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian atau parsial, maupun
dengan perubahan fonem” (Chaer, 1994: 182). “Selanjutnya, reduplikasi merupakan
alat morfologi yang produktif di dalam pembentukan kata” (Chaer, 1994: 286).
“Reduplikasi adalah proses morfologis yang
mengulangi bentuk dasar atau sebagian dari bentuk dasar tersebut. Reduplikasi
dapat dibedakan menjadi reduplikasi penuh seperti meja-meja, atau reduplikasi parsial seperti dalam lelaki, pepatah” (Veerhar, 2001: 152)
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa reduplikasi adalah proses
morfologis yang mengulang sebagian atau secara keseluruhan baik dengan variasi
fonem atau tidak.
“Ada empat jenis
pengulangan dalam bahasa Indonesia, yaitu: pengulangan sebagian, pengulangan
secara keseluruhan, pengulangan yang berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan
dengan perubahan fonem” (Ramlan, 1997: 69). “Dilihat dari hasil pengulangannya,
ada empat macam kata ulang, yaitu: kata ulang utuh atau murni, kata ulang
berubah bunyi, kata ulang sebagian, dan kata ulang berimbuhan” (Chaer, 2006:
287-288).
“Dalam linguistik
Indonesia sudah lazim dipakai sekumpulan istilah sehubungan dengan reduplikasi
dalam bahasa Sunda dan Jawa, yaitu: dwilingga,
dwilingga salin swara, dwipurwa, dwiwasana, dan trilingga”
(Verhaar, 2001: 152). “Reduplikasi ada dua jenisnya, yaitu paradigmatis dan
derivasional” (Verhaar, 2001: 152-153).
“Ada lima jenis
pengulangan dalam bahasa Indonesia, yaitu: pengulangan penuh, pengulangan
berimbuhan, pengulangan berubah bunyi, pengulangan semu, dan pengulangan
dwipurwa” (Badudu, 1980: 21).
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa reduplikasi atau
pengulangan ada enam jenis, yaitu: kata ulang secara keseluruhan, kata ulang
sebagian, kata ulang perubahan bunyi, kata ulang yang berkombinasi dengan
afiksasi, kata ulang trilingga, dan kata ulang semu.
Setiap kata memiliki
satuan yang diulang, sehingga sebagian kata ulang dengan mudah dapat ditentukan
bentuk dasarnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak semua kata ulang dengan
mudah ditentukan bentuk dasarnya, sehingga dapat dikemukakan dua petunjuk dalam
menentukan bentuk dasar kata ulang, yaitu sebagai berikut:
a. Pengulangan
pada umumnya tidak dapat mengubah golongan kata;
b. Bentuk
dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa (Ramlan, 1997:
65)
Reduplikasi atau
pengulangan mengandung sebelas makna, yaitu:
a. Menyatakan
makna banyak yang berhubungan dengan bentuk dasar;
b.
Menyatakan makna banyak yang tidak
berhubungan dengan bentuk dasar;
c.
Menyatakan makna tak bersyarat dalam
kalimat;
d.
Menyatakan makna yang menyerupai apa
yang tersebut pada bentuk dasar;
e.
Menyatakan bahwa perbuatan tersebut paa
bentuk dasar dilakukan berulang-ulang;
f.
Menyatakan bahwa perbuatan yang tersebut
pada bentuk dasar dilakukan dengan enaknya, dengan santainya, atau dengan
senangnya;
g.
Menyatakan bahwa perbuatan pada bentuk
ini dilakukan oleh dua pihak dan saling mengenai;
h.
Menyatakan hal-hal yang berhubungan
dengan pekerjaan yang tersebut pada bentuk dasar;
i.
Menyatakan makna agak;
j.
Menyatakan makna tingkat yang paling
tinggi yang dapat dicapai; dan
k.
Selain dari makna-makna tersebut di
atas, terdapat juga proses pengulangan yang sebenarnya tidak mengubah arti
bentuk dasarnya, melainkan hanya menyatakan intensitas perasaan (Ramlan, 1997:
176).
Secara rinci, makna
reduplikasi atau pengulangan adalah sebagai berikut:
a. Pengulangan
kata benda: menyatakan bermacam-macam dan menyatakan benda menyerupai bentuk
dasar itu;
b. Pengulangan
kata kerja: menyatakan pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang atau
berkali-kali, menyatakan aspek duratif yaitu pekerjaan, menyatakan
bermacam-macam pekerjaan, dan menyatakan pekerjaan yang dilakukan oleh dua
pihak;
c. Pengulangan
kata sifat: menyatakan makna lebih, menyatakan makna sampai atau pernah,
menyatakan makna superlatif atau paling, menyatakan melemahkan arti kata sifat
itu atau makna agak, dan pengulangan yang seolah-olah menjadi ungkapan dalam
bahasa Indonesia makna pengulangannya kurang jelas; dan
d. Pengulangan
kata bilangan: menyatakan makna satu demi satu, pengulangan kata satu tambahan
akhiran –nya menyatakan makna hanya satu, menyatakan makna sekaligus, dan menyatakan
makna kelipatan (Badudu, 1980: 24-27).
6. Pemajemukan
“Pemajemukan ialah
gabungan dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan arti” (Keraf,
1991: 138). “Pemajemukan adalah konstruksi yang terdiri dari atas dua morfem
atau dua kata atau lebih yang mempunyai satu pengertian” (Samsuri, 1991: 199).
Berdasarkan strukturnya
ada tiga jenis proses pemajemukan, yaitu:
a. Dwadansa,
penggabungan dua kata yang setara atau sederajat, namun mengandung pengertian
yang berlawanan, dapat pula terdiri dari dua kata yang bersinonim. Kata majemuk
pada bagian ini bersifat eksosentris. Contoh: sanak saudara, tua muda, besar
kecil;
b. Tatpurusa,
gabungan dua kata benda, dua kata kerja, atau kata benda dan kata kerja. Kata
yang kedua berfungsi menjelaskan kata yang pertama. Kata majemuk pada bagian
ini bersifat endosentris. Contoh: sapu tangan, kereta apai, rumah makan; dan
c. Karmadharaya,
gabungan dua kata benda dan kata sifat atau keadaan. Kata benda biasanya berada
pada kata pertama, sedangkan kata sifat pada kata kedua. Kata pertama
ditentukan oleh kata kedua. Kata majemuk pada bagian ini bersifat endosentris.
Contoh: orang tua, hari raya, hati besar (Keraf, 1991: 141).
7. Proses Morfofonemis
Proses morfologis dapat mengakibatkan peristiwa
morfofonemis atau morfofonemik. Morfofonemik, yaitu mempelajari
perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan
morfem lain (Ramlan, 1997:83). Proses morfofonemik adalah peristiwa fonologis
yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem (Kridalaksana, 1996:183).
Morfofonemis adalah peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses
morfologis (Chaer, 1994:195).
Jadi, Morfofonemik
adalah studi tentang perubahan (penambahan, penghilangan, atau pertukaran) pada
fonem-fonem akibat perhubungan dua buah morfem atau akibat hubungan secara
morfologis, yang terdapat dalam dua kata.
Dalam Bahasa Indonesia,
terdapat prefiks {peN-} yang dapat berubah menjadi {pe-}, {pem-},
{pen-},{peng-}, {peny-},{penge-}, sesuai dengan aturan-aturan fonologis
tertentu. Dalam bahasa Indonesia sedikit-dikitnya terdapat tiga proses
morfofonemik, yaitu:
a. Proses
perubahan fonem
Dalam bahasa Indonesia, perubahan fonem terjadi karena
pertemuan prefiks meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya. Fonem /N/
pada kedua morfem itu berubah menjadi /m,n,ñ,dan ŋ/.
Contoh:
meN- + periksa → memeriksa
peN-
+ buru → pemburu
meN- + sapu → menyapu
peN- + ganti → pengganti
b. Proses
penambahan fonem
Dalam
bahasa Indonesia, penambahan fonem terjadi karena pertemuan prefiks meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku kata.
Penambahan fonem juga terjadi akibat pertemuan –an, ke-an, peN-an dengan bentuk
dasarnya berakhir dengan fonem /a, u, o, aw, i, ay/.
Contoh:
meN- + cat → mengecat
peN-
+ bom → pengebom
hari + -an → harian/hariyan/
ke- + raja + -an → kerajaan/keraja?an/
peN- + temu + -an → penemuan/penemuwan/
c. Proses
hilangnya fonem
Dalam
bahasa Indonesia, hilangnya fonem /N/ terjadi akibat pertemuan morfem meN- dan
peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l,r,y,w/.
Contoh:
meN-
+ lerai → melerai
peN-
+ ramal → peramal
meN- + yakinkan → meyakinkan
peN-
+ warna → pewarna
BAB
III
METODE
DAN TEKNIK PENELITIAN
A.
Metode
Penelitian
Dalam penelitian ini
akan dideskripsikan fenomena alamiah yang berhubungan dengan morfologi Bahasa
Dayak Wehea ( BDW), khususnya proses morfologis. Dengan mempertimbangkan
fenomena dan fokus penelitian, dalam penelitian ini digunakan pendekatan
kualitatif dan metode penelitian deskriptif untuk menjelaskan fenomena
kebahasaan secara alamiah berdasarkan data yang diperoleh di lapangan.
Prinsip-prinsip
analisis deskriptif, yaitu: 1) harus didasarkan pada apa yang diucapkan
penutur, 2) bentuk adalah primer dan kebiasaan pemakaian adalah sekunder, 3)
bagian bahasa tidak dapat dianalisis secara tepat tanpa merujuk bagian-bagian
lain, dan 4) bahasa selalu berubah (Nida, 1963: 2-3).
“Penelitian kualitatif
adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan
prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya” (Moleong, 2006: 3).
Sejalan dengan ini, “paradigma penelitian kualitatif adalah paradigma yang
bersifat fenomenologik, yang berorientasi pada proses berupa kata-kalimat yang
menggambarkan karakteristik atau perilaku objek penelitian yang tidak bermakna
numerik (Sunarto, 2001:132).
“Metodologi penelitian
kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati”
(Moleong, 2006: 4). Ada sebelas karakteristik atau ciri penelitian kualitatif,
yaitu: 1) latar alamiah, 2) manusia sebagai alat (instrumen), 3) metode
kualitatif, 4) analisis data secara induktif, 5) teori dari dasar (Grounded Theory), 6) deskriptif, 7) lebih mementingkan proses daripada
hasil, 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, 8) adanya batas yang
ditentukan oleh fokus, 9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, 10)
desain yang bersifat sementara, dan 11) hasil penelitian dirundingkan dan
disepakati bersama (Moleong, 2006: 8-13).
Pendapat
di atas sejalan dengan pendapat berikut ini yang berkaitan dengan ciri
penelitian kualitatif. ”Adapun ciri penelitian kualitatif sebagai berikut: (1)
latar alamiah, (2) manusia sebagai alat (instrumen), (3) metode kualitatif, (4)
analisis data secara induktif, (5) teori dasar (grounded theory), (6)
deskriftif, (7) lebih mementingkan proses daripada hasil, (8) adanya batas yang
ditentukan oleh fokus, (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data
(objektivitas data), (10) desain yang bersifat sementara, (11) hasil penelitian
dirundingkan atau disepakati bersama” (Djajasudarma, 1992:12-13).
B.
Objek
Penelitian
Objek penelitian ini
adalah BDW, khususnya tentang proses morfologis BDW, yang mencakup: afiksasi,
reduplikasi, pemajemukan, dan proses morfemis. BDW merupakan bahasa yang
dituturkan masyarakat Dayak Wehea yang berada di Kecamatan Muara Wahau,
Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur yang tersebar di beberapa
desa, seperti: Desa Nehas Liah Bing, Diaq Lay, Jak Luay, Dabeq, Long Wehea, dan
Benhes.
C.
Lokasi,
Sumber Data, dan Setting Penelitian
1.
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi
Kalimantan Timur. Suku Dayak Wehea berdomisili di kecamatan Muara Wahau ini.
Suku Dayak Wehea tersebar di enam desa seperti: Desa Nehas Liah Bing, Desa Diaq
Lay, Desa Jak Luay, Desa Long Wehea, Desa Dabeq, Desa Benhes.
2.
Sumber
Data
Sumber data dalam
penelitian ini adalah data bahasa yang diperoleh dari informan yang merupakan
penutur asli BDW. Penentuan informan dilakukan menggunakan teknik purposive-sampling dan teknik snowball. Teknik purposive-sampling digunakan pada saat penulis pertama kali ke
lokasi, mengingat daerah penelitian pada penelitian sebelumnya hanya dua
daerah, sehingga untuk daerah-daerah selanjutnya menggunakan teknik ini,
kemudian dilanjutkan dengan menggunakan teknik snowball.
Dalam penelitian ini, penulis mengunakan informan sebagai pembantu
bahasa karena penulis tidak menguasai bahasa Dayak Wehea. Untuk mendapatkan data
tersebut, maka perlu dilakukan suatu prosedur dalam menentukan kriteria
informan. Kriteria informan secara tradisional adalah dengan kriteria NORMs.
Adapun kriteria NORMs merupakan singkatan dari:
N :
Nonmobile ‘tidak pernah berpergian’
O : Older ‘orang dewasa’
R : Rural ‘tinggal di pedalaman’
Ms :Males
‘laki-laki’ (Djajasudarma, 1992:25).
3.
Setting
Penelitian
Setting penelitian
dalam penelitian ini adalah desa-desa yang menjadi domisili masyarakat Suku
Dayak Wehea, yang terdiri dari enam desa, yaitu: Desa Nehes Liah Bing, Desa
Long Wehea, Desa Jak Luay, Desa Diaq Lay, Desa Dabeq, dan Desa Benhes.
D.
Cara
Memasuki Lokasi Penelitian
Dalam
penelitian ini, sebelum memasuki daerah penelitian, peneliti akan menentukan
daerah penelitian baik secara data statistik maupun berdasarkan letak daerah di
lapangan. Cara ini diharapkan agar peneliti dan responden bisa lebih akrab dan
proses pengambilan berjalan secara alamiah. Setelah menentukan daerah
penelitian, sebelum memulai penelitian, penulis akan meminta izin secara
tertulis untuk mendapatkan rekomendasi penelitian dari Bupati Kabupaten Kutai
Timur. Setelah mendapatkan rekomendasi, penulis akan melanjutkan proses
perizinan pada Camat Kecamatan Muara Wahau. Setelah mendapatkan rekomendasi
dari Camat, penulis melanjutkan proses perizinan kepada kepala adat dan kepala
desa daerah penelitian.
E.
Tahap
Penelitian
Dalam penelitian ini,
tahapan-tahapan penelitian yang harus dilakukan sebagai berikut: tahapan
persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penulisan laporan penelitian.
Tahap persiapan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengurus
prosedur perizinan pada kepala daerah Kutai Timur;
2. Menentukan
daerah penelitian; dan
3. Membuat
jadwal penelitian.
Tahap pelaksanaan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Menentukan
informan dari setiap daerah penelitian;
2. Mengambil
data dari setiap daerah penelitian secara bertahap; dan
3. Menganalisis
data.
Tahap penulisan laporan
penelitian ini sebagai berikut:
1. Data
yang telah dianalisis disusun dan diklasifikasikan berdasarkan proses
morfologisnya; dan
2. Menulis
laporan penelitian secara sistematis sesuai aturan yang berlaku.
F.
Teknik
Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini,
pengumpulan data digunakan dengan teknik rekam dan teknik catat (Sudaryanto,
1993: 139). Teknik rekam digunakan untuk mendapatkan data bahasa secara alamiah
dari penutur asli BDW. Teknik catat digunakan untuk merekam data bahasa dalam
bentuk tertulis. Kedua teknik ini dapat digunakan dalam pemancingan data baik
secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Berian-berian yang
didapatkan secara lisan dari responden harus dicatat. Catatan-catatan lapangan
(berupa rekaman) harus diubah ke dalam bentuk tulisan-tulisan (Miles, 1992:
75).
Selain teknik di atas,
teknik yang digunakan adalah teknik observasi, teknik ini digunakan untuk
mengamati fenomena penggunaan BDW. “Melalui observasi, peneliti belajar tentang
perilaku dan makna perilaku tersebut” (Sugiono, 2007: 226). Teknik observasi
dilakukan dengan dua cara, yakni observasi partisipan dan observasi
nonpartisipan. Obervasi partisipan melibatkan informan melalui teknik simak dan
teknik cakap, sedangkan observasi nonpartisipan digunakan dengan menyadap atau
merekam data bahasa secara sembunyi-sembunyi.
Teknik lain yang
digunakan adalah teknik wawancara. Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh
data tentang fenomena penggunaan BDW secara langsung dengan melibatkan
informan. Teknik ini juga digunakan untuk klarifikasi data yang diperoleh
kepada informan utama. “Wawancara dapat berbentuk wawancara mendalam dan
wawancara bertahap” (Bungin, 2010: 108-110).
G.
Analisis
Data
Penelitian kualitatif
biasanya sulit ditentukan batas antara pengambilan data dan analisis data,
karena itu teknik daur dapat digunakan., yaitu pengambilan data berlangsung
secara serempak dengan analisis data dan berlangsung terus menerus. “Teknik
analisis data dengan pendekatan daur yang dimulai dari: 1) pengumpulan data, 2)
antisipasi, 3) analisis: reduksi data, 4) analisis: pemaparan data, 5)
analisis: simpulan (sementara) dan verifikasi” (Sunarto, 2001: 157-158). Dalam
penelitian ini, prosedur analisis data dilakukan melalui tahapan transkripsi,
reduksi data, menganalisis, dan menyimpulkan.
Pada tahap transkripsi,
data yang diperoleh melalui wawancara atau rekaman diubah menjadi data tertulis
dalam BDW sesuai dengan kondisi ujaran informan, kemudian data dalam BDW
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Data yang ditranskripsi merupakan data
bahasa yang berupa kata-kalimat.
Tahap reduksi data
dilakukan dengan cara memilah data yang terpakai dan yang tidak terpakai. Data
yang telah dideskripsikan disusun ke dalam satuan-satuan yang disesuaikan
dengan fokus penelitian. Reduksi data dilakukan untuk mengidentifikasi data
berupa proses morfologis BDW.
Tahap analisis data,
data yang telah ditranskripsi tersebut kemudian dianalisis untuk mendeskripsikan
proses morfologis BDW. Dalam penelitian sebelumnya, proses afiksasi telah
dideskripsikan, sehingga pada penelitian ini afiksasi dilakukan pengecekan dan
verifikasi data sesuai dengan data terbaru.
Proses pengulangan dan
pemajemukan dalam BDW dianalisis berdasarkan teori yang tersebut pada bab II.
Data yang ditemukan dianalisis dengan mengenali bentuk-bentuk pengulangan atau
pemajemukan berdasarkan dengan teori yang dikemukakan. Proses ini bisa
dilakukan dengan mengklasifikasikan bentuk-bentuk pengulangan atau pemajemukan
dalam BDW dan mencari makna dan fungsi pengulangan atau pemajemukan dalam BDW.
Tahap penyimpulan
dilakukan untuk mendeskripsikan hasil temuan dalam BDW pada tataran proses
morfologis BDW. Simpulan ini merupakan gambaran atas jawaban dari fokus
penelitian yang telah ditetapkan.
H.
Kriteria
dan Teknik Pemeriksaan Data
Dalam penelitian ini,
kriteria dan teknik pemerikasaan yang digunakan sebagai berikut:
1. Kredibilitas
peneliti (derajat kepercayaan), meliputi: perpanjangan keikutsertaan, menemukan
siklus kesamaan data, ketekunan pengamatan, triangulasi kejujuran peneliti,
pengecekan melalui diskusi, kajian kasus Negatif, dan pengecekan anggota;
2. Kredibilitas
metode pengumpulan data, meliputi: triangulasi metode dan triangulasi sumber
data;
3. Kredibilitas
teoretis dan referensi, meliputi triangulasi teori dan kecukupan referensial;
4. Kepastian,
meliputi: uraian rinci; dan
5. Kebergantungan,
meliputi: audit kebergantungan (Bungin, 2010: 255).
Data dikatakan absah,
apabila memenuhi empat kriteria teknik pemerikasaan. Keempat teknik pemeriksaan
adalah derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan, dan kepastian.
Penerapan kriteria derajat kepercayaan dilakukan dengan dengan membuktikan
hasil temuan pada kenyataan ganda oleh peneliti. Kriteria keteralihan dapat
dilakukan dengan menyediakan data deskriptif yang cukup. Kriteria
kebergantungan dilakukan dengan mengaudit data dan hasil temuan. Kriteria
kepastian dapat dilakukan dengan audit kepastian (Moleong, 2006: 324).
Untuk menguji keabsahan
data penelitian, maka digunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik
pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif (Sunarto, 2001: 140).
Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Triangulasi
dengan sumber, yaitu membandingkan dengan mengecek kembali derajat kepercayaan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat berbeda dalam metode
kualitatif. Menurut Patton, hal ini dapat dicapai dengan jalan: a)
membandingkan data wawancara dengan hasil rekaman; b) membandingkan apa yang
dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; c)
membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan
apa yang dikatakan sepanjang waktu; d) membandingkan keadaan dan perspektif
seseorang dengan berbagai pendapat seperti rakyat biasa, orang berada, dan
orang-orang di pemerintahan; dan e) membandingkan hasil wawancara dengan isi
suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 2006: 131).
2. Triangulasi
dengan peneliti lain, yaitu dengan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya
untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.
3. Triangulasi
dengan teori, yaitu dengan menguraikan proses morfologis BDW, kemudian
membandingkan atau mencari tema dan penjelasan pembanding. Menurut Patton, hal
ini disebut penjelasan banding dan biasanya dapat dianalisis dengan cara
induktif atau secara logika.
I.
Teknik
Mengakhiri Penelitian
Dalam penelitian ini,
peneliti akan melaporkan kepada pihak-pihak terkait, khususnya Camat Muara
Wahau dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur bahwa peneliti telah
menyelesaikan penelitiannya.
Peneliti juga meminta
izin kepada kepala adat kepala desa suku Dayak di Kutai Barat. Selain itu, pada
akhir penyelesaian setelah laporan penelitian ini telah diuji dan
dipertanggungjawabkan, maka peneliti akan memberikan salinan kepada pihak-pihak
terkait, khususnya Camat Muara Wahau dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai
Timur.
Penelitian ini diakhiri
setelah diakhiri setelah peneliti merasa semua data yang diperlukan sesuai
dengan fokus penelitian sudah lengkap dan tidak lagi menemukan data baru atau
sudah mengalami kejenuhan, serta telah tercapai suatu tingkat kepercayaan yang
memadai kebenaran data atau hasil penelitian.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad HP. 1996. Linguistik Umum. Jakarta: DEPDIKBUD.
Al wasilah, A.
Chaedar. 1986. Linguistik Suatu Pengantar.
Bandung: Angkasa.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Badudu, J.S. 1980. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.
Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
-----, 2006: Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Edisi
Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Diah, Mohammad dkk.
1999. Morfosintaksis Bahasa Mantang.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Djajasudarma, T.Fatimah. 1992. Metodologi Linguistik Ancangan Metode Penelitian
dan Kajian. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.
Koentjoroningrat. 1991. Metodologi Penelitian Masyarakat. Jakarta: LIPI.
Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Majalah Kalawarta
edisi Juni 2006: The Nature Concervancy.
Mandaru, A. Mans dkk. 1998: Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kemak.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Mardalis. 1989. Metode Penelitian Suatu
Pendekaan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.
Miles,
Matthew B dan A. Michael Huberman. 2009. Analisis
Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta:
Universitas Indonesia Press.
Moleong,
J. Lexi. 2006. Metode Penelitian
Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nida, Eugena. A. 1963. Morphology: The Descriptive Analysis of Words. Ann Arbor: The University
of Michigan.
Panga, Rizal Effendy. 2008. Afiksasi Bahasa Dayak Wehea. Samarinda: Skripsi
pada Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Mulawarman.
Parera, Josa Daniel. 1994. Morfologi Bahasa. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Ramlan, M. 1997. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriftif. Yogyakarta: CV. Karyono.
Samarin,
William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan.
Yogyakarta: Kanisius.
Samsuri. 1991. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Subagyo, P. Joko. 2004. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudaryanto.
1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis
Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis.
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudjana, Nana, dkk. 2004. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung: Sinar Baru
Algesindo.
Sunarto. 2001. Metodologi Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan. Surabaya:
Unesa University Press.
Taq, Ledjie. 2006. Nemlen, Sebuah Prosesi Erau Kepala Dari Suku Dayak Wehea. Kutai
Timur: The Nature Concervancy.
Verhaar, J.WM. 2001. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah mada university
press.
5 komentar:
Salam kenal Rizal, terima kasih telah menulis tentang Bahasa Dayak Wehea, Sebuah Komunitas Adat yang pada masa lalu tertutup oleh sebuah Hagemoni dari Komunitas yang lebih besar.
Saya Chris Djoka, dulu pernah bekerja di The Nature Conservancy (TNC), dan kalau tidak salah ingat (kalau Rizal jadi anggota KKN di Desa Diaq Leway), mungkin pernah ngumpul2 bareng mereka Ika (Fekon) yang bermarkas KKN-nya di Sekertariat TNC Nehas Liah Bing.
Sekali lagi terima kasih, dan mohon ijin copy tulisannya dan nanti saya akan printout untuk dishare kepada Kepala Adat Nehas Liah Bing (Bapak Ledjie Taq).
O yah, pada 23 April 2013, Desa Nehas Liah Bing akan rayakan puncak Lom Plai (Ritual Embob Jengea), siapa tahu bisa datang dan bantu promote Wehea lagi melalui tulisan2nya, terima kasih.
Regards,
Chris Djoka
nuamuri.blogspot.com
Saya Rizal yang KKN di Desa Diaq Leway, Bang. Ketertarikan saya terhadap Budaya masyarakat ini karena masih banyak hal-hal yang belum terungkap dari segi linguistik maupun sastra Lisan yang ada di sana. Sudah lama sy kangen untuk ke sana. Penelitian S1 saya mengangkat Bahasa Wehea tentang "Afiksasi Bahasa Dayak Wehea".
Nampaknya saya sudah mengenal Bang Crish. Kita pernah ngobrol-ngobrol meski tidak begitu panjang, Bang. Ini salah satu tugas proposal untuk mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif. Namun dalam pengajuan judul, judul ini tidak disetujui karena keterbatasan waktu penelitian. sehingga, judul tesis saya tidak mengaji bahasa Dayak Wehea. Mudah-mudahan, setelah kembali dari Surabaya, saya bisa menggali kembali keunikan budaya masyarakat Wehea ini.
Salam untuk Pak Ledjie Taq. Beliau adalah salah satu informan saya dalam penulisan skripsi. Terima kasih juga untuk Bang Crish yang bersedia mampir ke Blog ini. Mohon maaf Bang, untuk acara Lom Plai, saya belum bisa datang karena saya masih berfokus untuk menggarap penelitian tesis saya di Surabaya. Senang bisa ngobrol lagi dengan Bang Cris. Kalau ke Diaq Leway, Salam untuk Seluruh Masyarakat di Sana.
Salam,
Rizal Effendy Panga
Hi Mas Rizal, Bagaimana Kabar sekarang? Salam dari Wehea
Haloo, lam knl mas Rizal ?...
terima kasih telah mengangkat wehea ke kancah akademisi.dan harapan saya ini adalah awal bagi para akademisi untuk mengkaji potensi wehea baik dari bahasa, budaya, adat istiadat dan masih banyak lagi potensi làinnya.
buat bang Chris, kami berterima kasih sekali atas ilmu pendidikan yang abang bagikan untuk mengangkat wehea sampai saat ini.
Btw, jika mas Rizal ingin berkunjung wehea, kami sangat welcome skali.
salam,
petro
Tulisan blog yang cukup panjang karena memuat TA. Saya belum menemukan yang saya cari. Apa bahasa yang digunakan suku Dayak Wahea dalam kehidupan sehari-hari..?? Contoh Dayak Pantu dikalimantan barat Menggunakan bahasa BE"MAK dalam kelompok mereka dan bahasa Indonesia.
Posting Komentar