Blog ini masih dalam pengembangan. Berbagi tidak hanya berbentuk materi, tetapi berbagi tulisan pun dapat memberikan kebahagian tersendiri.

Proses Morfologis Bahasa Dayak Wehea

Posted by Rizal Effendy Panga Jumat, 08 Maret 2013 5 komentar

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri atas berbagai suku dan kelompok etnis. Suku dan kelompok etnis ini memiliki kebudayaan yang beragam. Salah satu unsur budaya yang dimiliki oleh masyarakat adalah bahasa. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting. Bahasa merupakan sarana untuk mengaktualisasikan diri bagi masyarakat suku-suku dan kelompok etnis suatu bangsa. Dayak merupakan salah satu suku yang berada di wilayah Kalimantan. Berdasarkan data pada Majalah Kalawarta, “Ada 800-an Suku Dayak yang tersebar di Kalimantan.” (Juni 2006:5). Suku Dayak merupakan suku yang memiliki keanekaragaman budaya baik dari segi bahasa maupun adat istiadat yang berlaku dalam komunitas mereka.
Suku Dayak di Kalimantan memiliki keanekaragaman bahasa. Walaupun sama-sama Suku Dayak, bahasa yang mereka gunakan dalam komunikasi sehari-hari akan berbeda antara masyarakat Dayak yang berada di Sungai Mahakam dengan masyarakat Dayak yang berada di Sungai Kapuas. Provinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu wilayah populasi masyarakat Suku Dayak. Masyarakat suku Dayak memiliki ciri khas hidup di pinggiran sungai. Salah satunya di hulu Sungai Mahakam dan di hulu anak Sungai Mahakam yaitu Sungai Wahau dan Sungai Telen. Sungai Wahau dan Sungai Telen merupakan wilayah populasi Suku Dayak Wehea (Kalawarta, Juni 2006: 5)
Leluhur Suku Dayak berasal dari Yunan, China Selatan yang bermigrasi ke Kalimantan secara bergelombang. Hal itu diperkirakan berlangsung sejak 3000-1500 SM. Mula-mula Suku Dayak mendiami tepian Sungai Kapuas dan Sungai Mahakam, dan pantai-pantai di Kalimantan. Namun kedatangan Bangsa Melayu dari Sumatera dan Semenanjung Malaya memaksa mereka untuk pindah ke hulu sungai antara lain hulu Sungai Kayan. Kelompok masyarakat yang mendiami hulu Sungai Kayan ini terus bergerak dan berpindah mencari tempat baru. ada yang menyebar dan menetap di sekitar Sungai Skung, inilah cikal bakal keberadaan Suku Dayak Wehea.”(Kalawarta, Juni 2006:5).
Suku Dayak Wehea merupakan Suku Dayak minoritas yang mempunyai populasi sekitar 2.214 jiwa yang tersebar di enam desa yang menempati Kecamatan Muara Wahau, Telen, dan Kong Beng. Namun Suku Dayak Wehea tidak tercatat sebagai salah satu Suku Dayak di Kalimantan.Masyarakat luar sering mengelompokkan mereka sebagai Suku Dayak Modang bahkan seorang Sultan Kutai mengelompokkan Wehea ke dalam Suku Dayak Bahau. Hal ini terjadi karena masyarakat Wehea terkesan kurang pergaulan dan tidak memiliki keinginan untuk memperkenalkan diri. Para pendahulu dan pemuka Wehea pada masa lalu tidak memikirkan identitas. Keadaan ini diperburuk oleh ketidakpedulian sejumlah tokoh Wehea untuk memikirkan sekolah bagi generasi mudanya sehingga masyarakat Wehea tidak memiliki sumber daya manusia yang memadai untuk memperkenalkan Suku Dayak Wehea ke masyarakat luar. Ketidakpedulian pada identitas diri pada masyarakat Wehea sampai kini masih bisa kita rasakan. Penyebutan nama Kecamatan Muara Wahau yang hingga kini masih digunakan. Kata “Wahau” sebenarnya istilah orang luar yang sulit menyebut Wehea dengan Bahau (Taq, 2006: 6).
Dalam penelitian ini, penulis mendeskripsikan salah satu kajian linguistik. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa (Kridalaksana, 2001:128). Linguistik berarti ilmu bahasa (Verhaar, 2001:3). Ilmu linguistik sering disebut “linguistik umum”. Artinya ilmu linguistik tidak hanya menyelidiki salah satu bahasa saja, tetapi linguistik itu menyangkut bahasa pada umumnya. Dengan memakai istilah Ferdinand De Saussure dapat dirumuskan bahwa ilmu linguistik tidak hanya meneliti salah satu langue saja, tetapi langage itu, yaitu bahasa pada umumnya (Verhaar, 2001:4). Setiap ilmu pengetahuan lazim terdiri atas bidang-bidang keilmuan. Linguistik umum juga memiliki tataran-tataran linguistik dari yang terkecil sampai yang terbesar. Adapun cabang-cabang linguistik antara lain fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dalam penelitian ini, penulis mendeskripsikan kajian linguistik dari tataran morfologi, yaitu afiksasi. Penulis mengkhususkan pada pokok permasalahan afiksasi karena afiksasi memiliki keunikan tersendiri yang berbeda dengan tataran yang lain. Afiksasi adalah proses yang mengubah leksem menjadi kata yang lebih kompleks (Kridalaksana, 1996:28). Dalam afiksasi, kita bisa menemukan afiks dari suatu bahasa. Kita bisa menemukan proses melekatnya afiks dengan morfem sehingga kita bisa menyimpulkan sebuah teori baru yang dapat memudahkan orang lain mempelajari bahasa tersebut.
Penelitian terhadap bahasa Dayak Wehea yang penulis ketahui hingga hari ini adalah Afiksasi Bahasa Dayak Wehea yang merupakan skripsi penulis pada Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Mulawarman pada tahun 2008. Penulis meneliti BDW karena penulis pernah tinggal dan berbaur dengan masyarakat Dayak Wehea selama 2 bulan dalam rangka program kampus yaitu Kuliah Kerja Nyata angkatan XXXII tahun 2006 di Kecamatan Muara Wahau Desa Jak Luay. Nama asli dari Desa Jak Luay adalah Diaq Leway, namun data administrasi menggunakan nama Jak Luay. Penulis meneliti bahasa Dayak wehea dalam rangka memberikan sumbangan pikiran kepada masyarakat Wehea dalam bentuk deskripsi BDW agar masyarakat wehea dapat mempelajari bahasa mereka dengan mudah. Penelitian ini juga penulis maksudkan untuk menumbuhkan minat kepada masyarakat Wehea untuk mencintai budaya mereka salah satunya, yaitu bahasa.
Dalam penelitian ini, pada tataran sebelumnya, penulis meneliti struktur BDW dari tataran morfologi, yaitu afiksasi. Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan pada tataran yang lebih tinggi. Adapun tataran yang menjadi fokus penelitian, yaitu: mendeskripsikan proses morfologis dalam BDW.
B.     Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan proses morfologis BDW di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Dalam penelitian ini, penulis mendeskripsikan BDW yang terdiri dari proses afiksasi, proses reduplikasi, proses pemajemukan, dan proses morfologis.
C.    Fenomena dan Fokus
1.      Fenomena
Bahasa Dayak Wehea (BDW) merupakan suku minoritas dalam Suku Dayak. Terkadang mereka dikelompokkan bersama dengan suku-suku Dayak yang lebih besar, yaitu Suku Dayak Modang dan Suku Dayak Bahau. Keinginan Suku Dayak Wehea untuk menunjukkan identitasnya dan mengaktualisasikan suku mereka pada suku-suku Dayak yang lain. Kondisi ini menjadi penting untuk mendeskripsikan bahasa Dayak Wehea sebagai identitas suku mereka.
2.      Fokus
Dalam penelitian ini, penulis memfokuskan penelitian pada proses morfologis BDW yang terdiri dari:
a.       Bagaimana proses pengimbuhan (afiksasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur?
b.      Bagaimana proses pengulangan (reduplikasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur?
c.       Bagaimana proses pemajemukan (komposisi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur?
d.      Bagaimana proses morfologis dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur?




D.    Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penulis dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1.      Mendeskripsikan proses pengimbuhan (afiksasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur.
2.      Mendeskripsikan proses pengulangan (reduplikasi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur.
3.      Mendeskripsikan proses pemajemukan (komposisi) dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur.
4.      Mendeskripsikan proses morfologis dalam Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau, Kutai Timur.
E.     Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini bermanfaat sebagai berikut:
1.      Sebagai upaya melestarikan dan mendokumentasikan BDW.
2.      Sebagai upaya memperkenalkan BDW kepada masyarakat dayak pada khususnya dan masyarakat suku lain pada umumnya.
3.      Sebagai bahan informasi bagi masyarakat Dayak Wehea agar mereka dapat mempelajari dan memahami bahasanya dari segi struktur bahasa.
4.      Sebagai bahan informasi bagi peneliti bahasa yang ingin meneliti BDW pada tataran linguistik yang lain.




BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.    Penelitian Terdahulu
Penelitian ini merukan penelitian lanjutan penulis yang berjudul Afiksasi Bahasa Dayak Wehea di Kecamatan Muara Wahau. Dalam penelitian sebelumnya ini, penulis mendeskripsikan afks apa saja yang terdapat dalam Bahasa Dayak Wehea, proses melekatnya afiks pada bentuk dasar, dan makna yang ditimbulkan dari proses melekatnya afiks pada bentuk dasar.
Dari penelitian yang dilakukan dapat dikemukakan bahwa BDW hanya memiliki satu bentuk afiks, yaitu prefiks. Adapun prefiks dalam BDW ada tujuh prefiks, yaitu {kot-}, {te-}, {guang-}, {le-}, {nge-}, {sun-}, dan{ne-}. Pada afiks {nge-} terdapat 3 morf, yaitu: {eng-}, {nge-}, {e-}” (Panga, 2008: 44).  
Dalam BDW, proses morfofonemis terjadi pada proses hilangnya fonem, proses perubahan fonem, dan proses penambahan fonem. Akibat pertemuan prefiks-prefiks tersebut dengan bentuk dasarnya menyatakan makna dari prefiks tersebut.
Prefiks kot- menyatakan makna ‘akan melakukan perbuatan sesuai dengan bentuk dasarnya’. Prefiks te- menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang aktif lagi transitif’. Prefiks le- menyatakan makna ‘proses’. Prefiks guang- menyatakan makna ‘ tempat atau lubang’. Prefiks eng- menyatakan makna ‘perintah atau anjuran’. Prefiks sun- menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang pasif’. Prefik ne- menyatakan makna ‘suatu perbuatan aktif’” (Panga, 2008: 45-49).
B.     Konsep Penelitian
Teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori linguistik struktural. Teori struktural memandang bahasa sebagai suatu kesatuan sistem yang memiliki strukur tersendiri. Struktur itu menandai kehadiran suatu bahasa yang membedakan dengan bahasa lain. Setiap struktur bahasa mencakup bidang fonologi, morfologi, dan sintaksis. Pada dasarnya struktur tataran yang lebih tinggi selalu lebih rumit daripada tataran yang lebih rendah. Oleh karena itu, proses pemerian  pada tataran yang lebih tinggi memerlukan bantuan analisis tataran yang setingkat lebih rendah. Dalam penelitian ini, penulis meneliti tataran morfologi pada afiksasi Bahasa Dayak Wehea.
Dalam buku Metode Penelitian Suatu pendekatan Proposal diungkapkan pendapat Dr. Siswojo tentang definisi teori, “teori dapat diartikan sebagai perangkat konsep dan definisi yang saling berhubungan yang mencerminkan suatu pandangan sistemik mengenai fenomena dengan menerapkan hubungan antara variabel dengan tujuan untuk menerangkan dan meramalkan fenomena. Beliau juga mengatakan bahwa “teori menjalin hasil pengamatan ke dalam suatu pengertian utuh yang memungkinkan ilmuwan untuk membuat pernyataan umum tentang variabel-variabel dan hubungannya. (Mardalis, 1989:41)     
1. Morfem
            Morfem ialah satuan gramatik yang paling kecil; satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya (Ramlan, 1997:32). Satuan terkecil atau satuan gramatikal terkecil dari bahasa disebut morfem. Sebagai suatu satuan gramatikal, morfem itu bermakna. Istilah terkecil mengisyaratkan bahwa satuan gramatikal (morfem) itu tidak dapat dibagi lagi menjadi satuan yang lebih kecil yang bermakna (Ahmad HP, 1996:56). Morfem adalah satuan bahasa terkecil yang maknanya secara relatif stabil dan tidak dapat dibagi atas bagian bermakna yang lebih kecil (Kridalaksana, 1993:141). Menurut A. Chaedar Alwasilah, “Definisi morfem sebagai satuan bentuk terkecil yang mempunyai arti”. (1986:101).
            Dalam buku morfologi dikutip pendapat tokoh linguistik Amerika yang memberikan definisi tentang morfem. Adapun kutipan tentang definisi morfem adalah sebagai berikut:
a.       Bloomfield memberikan definisi morfem sebagai berikut: “A linguistik form which bears no partial phonetic-semantic resemblance to any other form, is a simple form or a morpheme”. Terjemahannya sebagai berikut: “Satu bentuk bahasa yang sebagiannya tidak mirip dengan bentuk lain mana pun juga, baik bunyi maupun arti adalah bentuk tunggal atau morfem”.
b.      Charles F. Hockett memberikan definisi morfem sebagai berikut: “morphemes are the smallest individually meaningfull element in the utterences  of a language”. Terjemahannya sebagai berikut “morfem adalah unsur-unsur yang terkecil yang masing-masing mempunyai makna dalam tutur sebuah bahasa (Parera, 1994:14-15).
            Dari definisi-definisi di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa morfem adalah satuan gramatik yang terkecil; satuan gramatik yang tidak mempunyai satuan lain sebagai unsurnya.
            Morfem dibedakan menjadi dua, yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Dalam buku Asas-asas Linguistik Umum diungkapkan, bentuk “bebas” secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung dengannya, dan dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk “bebas” dalam tuturan, sedangkan morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dan yang hanya dapat meleburkan diri pada morfem yang lain. (Verhaar, 2001:97). Misalnya tertanam, berlari, dibawa, berbunyi, memakan, dan lain-lain. Kata tanam, lari, bawa, bunyi, dan makan  merupakan morfem bebas, sedangkan ter-, di-, ber, dan me- merupakan morfem terikat.   
2. Deretan Morfologik
            Deretan morfologik ialah suatu deretan atau suatu daftar yang memuat kata-kata yang berhubungan dalam bentuk dan artinya (Ramlan, 1997:34). Untuk mengetahui apakah kata itu terdiri dari satu morfem atau beberapa morfem, haruslah kata itu diperbandingkan dengan kata-kata lain dalam deretan morfologik. Deretan morfologik amat berguna dalam penentuan morfem-morfem. Misalnya kita dapati kata berlari, pelari, berlarian, pelarian, melarikan, maka deretan morfologiknya sebagai berikut:
berlari
pelari
berlarian
pelarian
melarikan
lari
            Dari perbandingan kata-kata yang terdapat dalam deretan morfologik di atas, dapat disimpulkan adanya morfem lari sebagai unsur yang terdapat pada tiap-tiap anggota deretan morfologik, hingga dapat dipastikan bahwa kata berlari terdiri dari morfem lari dan morfem ber-, pelari terdiri dari morfem lari dan pe-, berlarian terdiri dari morfem lari dan ber-an, pelarian terdiri dari morfem lari dan pe-an, melarikan terdiri dari morfem lari, dan meN–kan.
3. Proses Morfologis
            Proses morfologis ialah proses pembentukan kata-kata dari satuan lain yang merupakan bentuk dasarnya. Bentuk dasarnya itu mungkin berupa kata, mungkin berupa pokok kata, mungkin berupa frase, mungkin berupa kata dan kata, mungkin berupa kata dan pokok kata, mungkin berupa pokok kata dan pokok kata (Ramlan, 1997:51).
Pada umumnya proses morfemis atau proses morfologis dibedakan atas (1) proses morfemis afiksasi, (2) proses morfemis pergantian atau perubahan internal, (3) proses morfemis pengulangan, (4) proses morfemis zero, (5) proses morfemis suplesi, (6) proses morfemis suprasegmental (Parera, 1994:18).
Dalam buku Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia, “proses morfologis dibedakan atas (1) derivasi zero, (2) afiksasi, (3) reduplikasi, (4) abreviasi (pemendekan), (5) komposisi (perpaduan), (6) derivasi balik, (7) metanalisis.” (Kridalaksana, 1996:12).
Proses morfologis merupakan cara pembentukan kata-kata dengan menghubungkan morfem yang satu dengan morfem yang lain. Dengan kata lain, proses morfologis ialah proses penggabungan morfem-morfem menjadi kata. Proses morfologis meliputi lima proses, yaitu afiksasi, reduplikasi, perubahan, intern, suplisi, dan modifikasi kosong (Samsuri, 1991: 190-194).
“Proses morfologis sebagai pembentukan kata-kata dari bentuk lain yang merupakan bentuk dasarnya. Ada tiga macam proses morfologis yaitu afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan” (Ramlan, 1997: 27). “Proses pembentukan kata dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain dengan afiksasi, pengulangan, dan pemajemukan” (Diah, 1999: 4).
Ada tiga prinsip pokok untuk mengenal morfem. Prinsip-prinsip tersebut adalah: 1) bentuk-bentuk yang berulang yang mempunyai pengertian yang sama termasuk morfem yang sama; 2) bentuk-bentuk yang mirip (susunan fonem-fonemnya) yang mempunyai pengertian yang sama termasuk morfem yang sama, apabila perbedaan-perbedaannya dapat diterangkan secara fonologis; dan 3) bentuk-bentuk yang berbeda susunan-susunan fonemnya, yang tidak dapat diterangkan secara fonologis perbedaan-perbedaannya, masih bisa dianggap sebagai alomorf-alomorf daripada morfem yang sama atau mirip, asal perbedaan-perbedaan itu bisa diterangkan secara morfologis (Samsuri, 1991: 17).
4. Afiksasi
“Afiksasi adalah proses pembubuhan afiks pada sesuatu satuan, baik satuan itu berupa bentuk tunggal maupun bentuk kompleks, untuk membentuk kata.” Ramlan menjelaskan bahwa setiap afiks berupa satuan terikat, dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri dan secara gramatikal selalu melekat pada satuan lain, serta kemungkinan melekatnya pada satuan lain lebih banyak. (Ramlan, 1997:54)
            Afiksasi adalah proses mengubah leksem menjadi kata kompleks. Dalam proses ini, leksem (1) berubah bentuknya, (2) menjadi kategori tertentu, sehingga berstatus kata (atau bila telah berstatus kata berganti kategori), (3) sedikit banyak berubah maknanya (Kridalaksana, 1996:28).
            Afiksasi adalah proses penambahan afiks pada sebuah dasar atau bentuk dasar (Ahmad HP, 1996:68). Afiksasi adalah pengimbuhan afiks (Verhaar, 2001:107). Proses afiksasi terjadi apabila sebuah morfem terikat dibubuhkan atau dilekatkan pada sebuah morfem bebas secara urutan lurus (Parera, 1994:18).
            Afiks ialah satuan gramatik terikat yang di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, yang memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru (Ramlan, 1997:55). Setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat  berdiri sendiri, dan secara gramatik selalu melekat pada satuan lainnya (Ramlan, 1997:56).
Jenis-jenis afiks secara tradisional dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.    prefiks, yaitu afiks yang diletakkan di muka dasar.
{me-}, {pe-}, {ber-}, {se-}, {di-}, {ke-}. (prefiks BI).
{kot-},{te-}, {guang-}, {le-}, {eng-}, {sun-}, dan{ne-}.(prefiks BDW).
b.   Infiks, yaitu afiks yang diletakkan di tengah bentuk dasar.
c.    sufiks, yaitu afiks yang diletakkan di belakang dasar.
d.   simulfiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri segmental yang dileburkan pada bentuk dasar.
e.    konfiks, yaitu afiks yang terdiri dari dua unsur, satu di muka bentuk dasar dan satu di belakang bentuk dasar.
f.    superfiks atau suprafiks, yaitu afiks yang dimanifestasikan dengan ciri-ciri suprasegmental atau afiks yang berhubungan dengan morfem suprasegmental.
g.   interfiks, yaitu jenis afiks yang muncul di antara dua unsur.
h.   transfiks, yaitu jenis infiks yang menyebabkan dasar menjadi terbagi.
i.     kombinasi afiks, yaitu kombinasi dari dua afiks atau lebih yang bergabung dengan dasar (Kridalaksana, 1996:28-31).
Akibat pertemuan afiks-afiks dengan bentuk dasarnya akan timbullah berbagai makna (Ramlan, 1997:110). Dalam bahasa Indonesia, akibat pertemuan afiks meN- dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna sebagai berikut:
a.       Apabila bentuk dasarnya berupa pokok kata, afiks meN- menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang aktif lagi transitif’ maksudnya perbuatan itu dilakukan oleh pelaku yang menduduki subyek dan lagi menuntut adanya obyek. Makna ini terdapat pada kata-kata mengambil, menulis, memukul, dll.
b.      Apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat, Afiks meN- menyatakan makna ‘menjadi seperti keadaan yang tersebut pada bentuk dasarnya atau dengan singkat dapat dikatakan menyatakan makna ‘proses’. Misalnya, kata melebar mempunyai makna ‘menjadi lebar’.
c.       Apabila bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks meN- menyatakan berbagai makna seperti ‘memakai apa yang tersebut pada bentuk dasar, berlaku atau menjadi seperti apa yang tersebut pada bentuk dasar, menuju ke tempat yang tersebut pada bentuk dasar, membuat apa yang tersebut pada bentuk dasar, dan lain-lain. Makna-makna ini dirangkum dalam satu makna ‘melakukan tindakan berhubung dengan apa yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata menepi mempunyai makna ‘menuju ke tepi’.
d.      Pada kata mengantuk dan menyendiri afiks meN- menyatakan makna ‘dalam keadaan’, atau boleh juga dikatakan menyatakan makna ‘statif’.
Akibat pertemuan afiks peN- dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna-makna sebagai berikut:
  1. Apabila bentuk dasarnya berupa pokok kata, afiks peN- menyatakan makna ‘yang (pekerjaannya) melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata pembaca mempunyai makna ‘yang (pekerjaannya) membaca’.
  2. Di samping makna nomor 1 di atas, afiks peN- menyatakan makna ‘alat yang dipakai untuk melakukan perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata pemukul mempunyai makna ‘alat untuk memukul’.
  3. Apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat, afiks peN- menyatakan makna ‘yang memiliki sifat yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata pemalu mempunyai makna ‘yang memiliki sifat malu’.
  4. Selain makna yang tersebut pada nomor 3 di atas, apabila bentuk dasarnya berupa kata sifat, afiks peN- menyatakan makna ‘ yang menyebabkan adanya sifat yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata penguat mempunyai makna ‘yang menyebabkan jadi kuat; yang menguatkan’.
  5. Apabila bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks peN- menyatakan makna ‘yang (pekerjaannya) melakukan perbuatan berhubung dengan benda yang tersebut pada bentuk dasarnya’. Misalnya, kata pelaut mempunyai makna ‘yang (pekerjaannya) melakukan pekerjaan di laut’.
Akibat pertemuan afiks –i dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna-makna sebagai berikut:
a.       Menyatakan bahwa ‘perbuatan yang tersebut pada bentuk dasaritu dilakukan berulang-ulang’. Misalnya, kata memukuli mempunyai makna ‘berulang-ulang memukul’.
b.      Menyatakan makna ‘memberi apa yang tersebut pada bentuk dasar pada…’. Misalnya, kata menyampuli (buku) mempunyai makna ‘memberi sampul pada (buku)’.
c.       Obyeknya menyatakan ‘tempat’. Misalnya, kata menduduki mempunyai obyek yang menyatakan tempat.
Akibat pertemuan afiks ke-an dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna-makna sebagai berikut:
a.       Menyatakan ‘suatu abstraksi atau hal, baik abstraksi dari suatu perbuatan maupun dari suatu sifat keadaan’. Misalnya, kata kebaikan mempunyai makna ‘hal baik’.
b.      Menyatakan ‘hal-hal yang berhubungan dengan masalah yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata (masalah) kewanitaan mempunyai makna ‘hal-hal yang berhubungan dengan masalah wanita’.
c.       Menyatakan makna ‘dapat dikenai perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar’ atau dengan kata lain menyatakan makna ‘dapat di…’. Misalnya, kata kelihatan mempunyai makna ‘dapat dilihat’.
d.      Menyatatakan makna ‘dalam keadaan tertimpa akibat perbuatan, keadaan, atau hal yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya, kata  kehujanan mempunyai makna ‘dalam keadaan tertimpa hujan’.
e.       Menyatakan makna ‘tempat atau daerah’. Misalnya, kata kelurahan mempunyai makna ‘tempat lurah; daerah lurah’.
Afiks di- hanya memiliki satu fungsi ialah membentuk kata kerja pasif berbeda dengan afiks meN- yang mempunyai fungsi membentuk kata kerja aktif. Akibat pertemuan afiks di- dengan bentuk dasarnya, maka akan timbul makna ‘suatu perbuatan yang pasif’.
Akibat pertemuan afiks ber- dengan bentuk dasarnya, timbullah berbagai makna,  yang dapat digolongkan sebagai berikut:
a.      Menyatakan makna ‘suatu perbuatan yang aktif’, makna ini pada umumnya terdapat pada kata berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa pokok kata dan kata kerja. Misalnya pada kata-kata bersandar, bekerja, belajar, berjuang, dan lain sebagainya.
b.      Pada kata-kata berafiks ber- yang bentuk dasarnya berupa kata sifat, afiks ber- menyatakan makna ‘dalam keadaan’ atau ‘statif’. Misalnya pada kata-kata bersedih, bergembira, berbahagia, dan lain sebagainya.
c.      Pada kata-kata yang berbentuk dasar kata bilangan afiks ber- menyatakan makna ‘kumpulan yang terdiri dari jumlah yang tersebut pada bentuk dasar’, kecuali pada kata bersatu yang menyatakan makna ‘menjadi satu’. Misalnya pada kata-kata berdua, bertiga, berempat, dan lain sebagainya.
d.     Apabila bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks ber- mempunyai berbagai kemungkinan makna, misalnya ‘memakai, mengeluarkan, mengusahakan  apa yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya pada kata-kata berbaju, bersepeda, bersuara, berladang, dan lain sebagainya.
e.      Selain menyatakan makna seperti nomor 4 di atas, apabila bentuk dasarnya berupa kata nominal, afiks ber- menyatakan makna ‘mempunyai apa yang tersebut pada bentuk dasar’. Misalnya pada kata-kata berumah, berayah, berpenyakit, dan lain sebagainya.
5.      Reduplikasi
Reduplikasi adalah pengulangan bentuk akata, baik seluruhnya maupun sebagian. Suatu kata dikatakan reduplikasi bila ada bentuk yang harus diulangi untuk mengeraskan arti, memberi tekanan, atau untuk memperjelas makna. Pada umumnya reduplikasi terdiri dari tiga bentuk, yakni reduplikasi penuh, reduplikasi dengan modifikasi, dan reduplikasi partial atau pengulangan sebagian (Mandaru, 1998: 52).
“Reduplikasi adalah pengulangan satuan gramatika, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak” (Ramlan, 1997: 63). “Reduplikasi merupakan salah satu wujud proses morfologis. Reduplikasi sebagai proses morfemis yang mengulang bentuk dasar, baik secara keseluruhan, sebagian atau parsial, maupun dengan perubahan fonem” (Chaer, 1994: 182). “Selanjutnya, reduplikasi merupakan alat morfologi yang produktif di dalam pembentukan kata” (Chaer, 1994: 286).
 “Reduplikasi adalah proses morfologis yang mengulangi bentuk dasar atau sebagian dari bentuk dasar tersebut. Reduplikasi dapat dibedakan menjadi reduplikasi penuh seperti meja-meja, atau reduplikasi parsial seperti dalam lelaki, pepatah” (Veerhar, 2001: 152)
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa reduplikasi adalah proses morfologis yang mengulang sebagian atau secara keseluruhan baik dengan variasi fonem atau tidak.
“Ada empat jenis pengulangan dalam bahasa Indonesia, yaitu: pengulangan sebagian, pengulangan secara keseluruhan, pengulangan yang berkombinasi dengan afiks, dan pengulangan dengan perubahan fonem” (Ramlan, 1997: 69). “Dilihat dari hasil pengulangannya, ada empat macam kata ulang, yaitu: kata ulang utuh atau murni, kata ulang berubah bunyi, kata ulang sebagian, dan kata ulang berimbuhan” (Chaer, 2006: 287-288).
“Dalam linguistik Indonesia sudah lazim dipakai sekumpulan istilah sehubungan dengan reduplikasi dalam bahasa Sunda dan Jawa, yaitu: dwilingga, dwilingga salin swara, dwipurwa, dwiwasana, dan trilingga” (Verhaar, 2001: 152). “Reduplikasi ada dua jenisnya, yaitu paradigmatis dan derivasional” (Verhaar, 2001: 152-153).
“Ada lima jenis pengulangan dalam bahasa Indonesia, yaitu: pengulangan penuh, pengulangan berimbuhan, pengulangan berubah bunyi, pengulangan semu, dan pengulangan dwipurwa” (Badudu, 1980: 21).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa reduplikasi atau pengulangan ada enam jenis, yaitu: kata ulang secara keseluruhan, kata ulang sebagian, kata ulang perubahan bunyi, kata ulang yang berkombinasi dengan afiksasi, kata ulang trilingga, dan kata ulang semu.
Setiap kata memiliki satuan yang diulang, sehingga sebagian kata ulang dengan mudah dapat ditentukan bentuk dasarnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa tidak semua kata ulang dengan mudah ditentukan bentuk dasarnya, sehingga dapat dikemukakan dua petunjuk dalam menentukan bentuk dasar kata ulang, yaitu sebagai berikut:
a.       Pengulangan pada umumnya tidak dapat mengubah golongan kata;
b.      Bentuk dasar selalu berupa satuan yang terdapat dalam penggunaan bahasa (Ramlan, 1997: 65)
Reduplikasi atau pengulangan mengandung sebelas makna, yaitu:
a.       Menyatakan makna banyak yang berhubungan dengan bentuk dasar;
b.      Menyatakan makna banyak yang tidak berhubungan dengan bentuk dasar;
c.       Menyatakan makna tak bersyarat dalam kalimat;
d.      Menyatakan makna yang menyerupai apa yang tersebut pada bentuk dasar;
e.       Menyatakan bahwa perbuatan tersebut paa bentuk dasar dilakukan berulang-ulang;
f.       Menyatakan bahwa perbuatan yang tersebut pada bentuk dasar dilakukan dengan enaknya, dengan santainya, atau dengan senangnya;
g.      Menyatakan bahwa perbuatan pada bentuk ini dilakukan oleh dua pihak dan saling mengenai;
h.      Menyatakan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan yang tersebut pada bentuk dasar;
i.        Menyatakan makna agak;
j.        Menyatakan makna tingkat yang paling tinggi yang dapat dicapai; dan
k.      Selain dari makna-makna tersebut di atas, terdapat juga proses pengulangan yang sebenarnya tidak mengubah arti bentuk dasarnya, melainkan hanya menyatakan intensitas perasaan (Ramlan, 1997: 176).
Secara rinci, makna reduplikasi atau pengulangan adalah sebagai berikut:
a.       Pengulangan kata benda: menyatakan bermacam-macam dan menyatakan benda menyerupai bentuk dasar itu;
b.      Pengulangan kata kerja: menyatakan pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang atau berkali-kali, menyatakan aspek duratif yaitu pekerjaan, menyatakan bermacam-macam pekerjaan, dan menyatakan pekerjaan yang dilakukan oleh dua pihak;
c.       Pengulangan kata sifat: menyatakan makna lebih, menyatakan makna sampai atau pernah, menyatakan makna superlatif atau paling, menyatakan melemahkan arti kata sifat itu atau makna agak, dan pengulangan yang seolah-olah menjadi ungkapan dalam bahasa Indonesia makna pengulangannya kurang jelas; dan
d.      Pengulangan kata bilangan: menyatakan makna satu demi satu, pengulangan kata satu tambahan akhiran –nya menyatakan makna hanya satu, menyatakan makna sekaligus, dan menyatakan makna kelipatan (Badudu, 1980: 24-27).
6.      Pemajemukan
“Pemajemukan ialah gabungan dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu kesatuan arti” (Keraf, 1991: 138). “Pemajemukan adalah konstruksi yang terdiri dari atas dua morfem atau dua kata atau lebih yang mempunyai satu pengertian” (Samsuri, 1991: 199).
Berdasarkan strukturnya ada tiga jenis proses pemajemukan, yaitu:
a.       Dwadansa, penggabungan dua kata yang setara atau sederajat, namun mengandung pengertian yang berlawanan, dapat pula terdiri dari dua kata yang bersinonim. Kata majemuk pada bagian ini bersifat eksosentris. Contoh: sanak saudara, tua muda, besar kecil;
b.      Tatpurusa, gabungan dua kata benda, dua kata kerja, atau kata benda dan kata kerja. Kata yang kedua berfungsi menjelaskan kata yang pertama. Kata majemuk pada bagian ini bersifat endosentris. Contoh: sapu tangan, kereta apai, rumah makan; dan
c.       Karmadharaya, gabungan dua kata benda dan kata sifat atau keadaan. Kata benda biasanya berada pada kata pertama, sedangkan kata sifat pada kata kedua. Kata pertama ditentukan oleh kata kedua. Kata majemuk pada bagian ini bersifat endosentris. Contoh: orang tua, hari raya, hati besar (Keraf, 1991: 141).
7.      Proses Morfofonemis
            Proses morfologis dapat mengakibatkan peristiwa morfofonemis atau morfofonemik. Morfofonemik, yaitu mempelajari perubahan-perubahan fonem yang timbul sebagai akibat pertemuan morfem dengan morfem lain (Ramlan, 1997:83). Proses morfofonemik adalah peristiwa fonologis yang terjadi karena pertemuan morfem dengan morfem (Kridalaksana, 1996:183). Morfofonemis adalah peristiwa berubahnya wujud morfemis dalam suatu proses morfologis (Chaer, 1994:195).
Jadi, Morfofonemik adalah studi tentang perubahan (penambahan, penghilangan, atau pertukaran) pada fonem-fonem akibat perhubungan dua buah morfem atau akibat hubungan secara morfologis, yang terdapat dalam dua kata.
Dalam Bahasa Indonesia, terdapat prefiks {peN-} yang dapat berubah menjadi {pe-}, {pem-}, {pen-},{peng-}, {peny-},{penge-}, sesuai dengan aturan-aturan fonologis tertentu. Dalam bahasa Indonesia sedikit-dikitnya terdapat tiga proses morfofonemik, yaitu:

a.       Proses perubahan fonem
Dalam bahasa Indonesia, perubahan fonem terjadi karena pertemuan prefiks meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya. Fonem /N/ pada kedua morfem itu berubah menjadi /m,n,ñ,dan ŋ/.
Contoh:
meN- + periksa                    memeriksa
            peN-  + buru                        pemburu
meN- + sapu                        menyapu  
peN-  + ganti                       pengganti
b.      Proses penambahan fonem
Dalam bahasa Indonesia, penambahan fonem terjadi karena pertemuan prefiks meN- dan peN- dengan bentuk dasarnya yang terdiri dari satu suku kata. Penambahan fonem juga terjadi akibat pertemuan –an, ke-an, peN-an dengan bentuk dasarnya berakhir dengan fonem /a, u, o, aw, i, ay/.
Contoh:
meN- + cat                          mengecat
            peN-  + bom                        pengebom
hari + -an                             harian/hariyan/
ke- + raja + -an                    kerajaan/keraja?an/
peN- + temu + -an               penemuan/penemuwan/

c.       Proses hilangnya fonem
Dalam bahasa Indonesia, hilangnya fonem /N/ terjadi akibat pertemuan morfem meN- dan peN- dengan bentuk dasar yang berawal dengan fonem /l,r,y,w/.
Contoh:
 meN- + lerai                       melerai
            peN-  + ramal                      peramal
meN- + yakinkan                meyakinkan
            peN-  + warna                     pewarna




BAB III
METODE DAN TEKNIK PENELITIAN

A.    Metode Penelitian
Dalam penelitian ini akan dideskripsikan fenomena alamiah yang berhubungan dengan morfologi Bahasa Dayak Wehea ( BDW), khususnya proses morfologis. Dengan mempertimbangkan fenomena dan fokus penelitian, dalam penelitian ini digunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian deskriptif untuk menjelaskan fenomena kebahasaan secara alamiah berdasarkan data yang diperoleh di lapangan.
Prinsip-prinsip analisis deskriptif, yaitu: 1) harus didasarkan pada apa yang diucapkan penutur, 2) bentuk adalah primer dan kebiasaan pemakaian adalah sekunder, 3) bagian bahasa tidak dapat dianalisis secara tepat tanpa merujuk bagian-bagian lain, dan 4) bahasa selalu berubah (Nida, 1963: 2-3).
“Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya” (Moleong, 2006: 3). Sejalan dengan ini, “paradigma penelitian kualitatif adalah paradigma yang bersifat fenomenologik, yang berorientasi pada proses berupa kata-kalimat yang menggambarkan karakteristik atau perilaku objek penelitian yang tidak bermakna numerik (Sunarto, 2001:132).
“Metodologi penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati” (Moleong, 2006: 4). Ada sebelas karakteristik atau ciri penelitian kualitatif, yaitu: 1) latar alamiah, 2) manusia sebagai alat (instrumen), 3) metode kualitatif, 4) analisis data secara induktif, 5) teori dari dasar (Grounded Theory), 6) deskriptif, 7) lebih mementingkan proses daripada hasil, 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, 8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, 9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data, 10) desain yang bersifat sementara, dan 11) hasil penelitian dirundingkan dan disepakati bersama (Moleong, 2006: 8-13).
Pendapat di atas sejalan dengan pendapat berikut ini yang berkaitan dengan ciri penelitian kualitatif. ”Adapun ciri penelitian kualitatif sebagai berikut: (1) latar alamiah, (2) manusia sebagai alat (instrumen), (3) metode kualitatif, (4) analisis data secara induktif, (5) teori dasar (grounded theory), (6) deskriftif, (7) lebih mementingkan proses daripada hasil, (8) adanya batas yang ditentukan oleh fokus, (9) adanya kriteria khusus untuk keabsahan data (objektivitas data), (10) desain yang bersifat sementara, (11) hasil penelitian dirundingkan atau disepakati bersama” (Djajasudarma, 1992:12-13).
B.     Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah BDW, khususnya tentang proses morfologis BDW, yang mencakup: afiksasi, reduplikasi, pemajemukan, dan proses morfemis. BDW merupakan bahasa yang dituturkan masyarakat Dayak Wehea yang berada di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur yang tersebar di beberapa desa, seperti: Desa Nehas Liah Bing, Diaq Lay, Jak Luay, Dabeq, Long Wehea, dan Benhes.

C.    Lokasi, Sumber Data, dan Setting Penelitian
1.      Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Suku Dayak Wehea berdomisili di kecamatan Muara Wahau ini. Suku Dayak Wehea tersebar di enam desa seperti: Desa Nehas Liah Bing, Desa Diaq Lay, Desa Jak Luay, Desa Long Wehea, Desa Dabeq, Desa Benhes.
2.      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah data bahasa yang diperoleh dari informan yang merupakan penutur asli BDW. Penentuan informan dilakukan menggunakan teknik purposive-sampling dan teknik snowball. Teknik purposive-sampling digunakan pada saat penulis pertama kali ke lokasi, mengingat daerah penelitian pada penelitian sebelumnya hanya dua daerah, sehingga untuk daerah-daerah selanjutnya menggunakan teknik ini, kemudian dilanjutkan dengan menggunakan teknik snowball.
Dalam penelitian ini, penulis mengunakan informan sebagai pembantu bahasa karena penulis tidak menguasai bahasa Dayak Wehea. Untuk mendapatkan data tersebut, maka perlu dilakukan suatu prosedur dalam menentukan kriteria informan. Kriteria informan secara tradisional adalah dengan kriteria NORMs.
Adapun kriteria NORMs merupakan singkatan dari:
N         : Nonmobile ‘tidak pernah berpergian’
O         : Older ‘orang dewasa’
R         : Rural ‘tinggal di pedalaman’
Ms       :Males ‘laki-laki’ (Djajasudarma, 1992:25).
3.      Setting Penelitian
Setting penelitian dalam penelitian ini adalah desa-desa yang menjadi domisili masyarakat Suku Dayak Wehea, yang terdiri dari enam desa, yaitu: Desa Nehes Liah Bing, Desa Long Wehea, Desa Jak Luay, Desa Diaq Lay, Desa Dabeq, dan Desa Benhes.
D.    Cara Memasuki Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, sebelum memasuki daerah penelitian, peneliti akan menentukan daerah penelitian baik secara data statistik maupun berdasarkan letak daerah di lapangan. Cara ini diharapkan agar peneliti dan responden bisa lebih akrab dan proses pengambilan berjalan secara alamiah. Setelah menentukan daerah penelitian, sebelum memulai penelitian, penulis akan meminta izin secara tertulis untuk mendapatkan rekomendasi penelitian dari Bupati Kabupaten Kutai Timur. Setelah mendapatkan rekomendasi, penulis akan melanjutkan proses perizinan pada Camat Kecamatan Muara Wahau. Setelah mendapatkan rekomendasi dari Camat, penulis melanjutkan proses perizinan kepada kepala adat dan kepala desa daerah penelitian.

E.     Tahap Penelitian
Dalam penelitian ini, tahapan-tahapan penelitian yang harus dilakukan sebagai berikut: tahapan persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap penulisan laporan penelitian.
Tahap persiapan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1.      Mengurus prosedur perizinan pada kepala daerah Kutai Timur;
2.      Menentukan daerah penelitian; dan
3.      Membuat jadwal penelitian.
Tahap pelaksanaan penelitian ini sebagai berikut:
1.      Menentukan informan dari setiap daerah penelitian;
2.      Mengambil data dari setiap daerah penelitian secara bertahap; dan
3.      Menganalisis data.
Tahap penulisan laporan penelitian ini sebagai berikut:
1.      Data yang telah dianalisis disusun dan diklasifikasikan berdasarkan proses morfologisnya; dan
2.      Menulis laporan penelitian secara sistematis sesuai aturan yang berlaku.
F.     Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data digunakan dengan teknik rekam dan teknik catat (Sudaryanto, 1993: 139). Teknik rekam digunakan untuk mendapatkan data bahasa secara alamiah dari penutur asli BDW. Teknik catat digunakan untuk merekam data bahasa dalam bentuk tertulis. Kedua teknik ini dapat digunakan dalam pemancingan data baik secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan.
Berian-berian yang didapatkan secara lisan dari responden harus dicatat. Catatan-catatan lapangan (berupa rekaman) harus diubah ke dalam bentuk tulisan-tulisan (Miles, 1992: 75).
Selain teknik di atas, teknik yang digunakan adalah teknik observasi, teknik ini digunakan untuk mengamati fenomena penggunaan BDW. “Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku dan makna perilaku tersebut” (Sugiono, 2007: 226). Teknik observasi dilakukan dengan dua cara, yakni observasi partisipan dan observasi nonpartisipan. Obervasi partisipan melibatkan informan melalui teknik simak dan teknik cakap, sedangkan observasi nonpartisipan digunakan dengan menyadap atau merekam data bahasa secara sembunyi-sembunyi.
Teknik lain yang digunakan adalah teknik wawancara. Teknik wawancara digunakan untuk memperoleh data tentang fenomena penggunaan BDW secara langsung dengan melibatkan informan. Teknik ini juga digunakan untuk klarifikasi data yang diperoleh kepada informan utama. “Wawancara dapat berbentuk wawancara mendalam dan wawancara bertahap” (Bungin, 2010: 108-110).
G.    Analisis Data
Penelitian kualitatif biasanya sulit ditentukan batas antara pengambilan data dan analisis data, karena itu teknik daur dapat digunakan., yaitu pengambilan data berlangsung secara serempak dengan analisis data dan berlangsung terus menerus. “Teknik analisis data dengan pendekatan daur yang dimulai dari: 1) pengumpulan data, 2) antisipasi, 3) analisis: reduksi data, 4) analisis: pemaparan data, 5) analisis: simpulan (sementara) dan verifikasi” (Sunarto, 2001: 157-158). Dalam penelitian ini, prosedur analisis data dilakukan melalui tahapan transkripsi, reduksi data, menganalisis, dan menyimpulkan.
Pada tahap transkripsi, data yang diperoleh melalui wawancara atau rekaman diubah menjadi data tertulis dalam BDW sesuai dengan kondisi ujaran informan, kemudian data dalam BDW diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Data yang ditranskripsi merupakan data bahasa yang berupa kata-kalimat.
Tahap reduksi data dilakukan dengan cara memilah data yang terpakai dan yang tidak terpakai. Data yang telah dideskripsikan disusun ke dalam satuan-satuan yang disesuaikan dengan fokus penelitian. Reduksi data dilakukan untuk mengidentifikasi data berupa proses morfologis BDW.
Tahap analisis data, data yang telah ditranskripsi tersebut kemudian dianalisis untuk mendeskripsikan proses morfologis BDW. Dalam penelitian sebelumnya, proses afiksasi telah dideskripsikan, sehingga pada penelitian ini afiksasi dilakukan pengecekan dan verifikasi data sesuai dengan data terbaru.
Proses pengulangan dan pemajemukan dalam BDW dianalisis berdasarkan teori yang tersebut pada bab II. Data yang ditemukan dianalisis dengan mengenali bentuk-bentuk pengulangan atau pemajemukan berdasarkan dengan teori yang dikemukakan. Proses ini bisa dilakukan dengan mengklasifikasikan bentuk-bentuk pengulangan atau pemajemukan dalam BDW dan mencari makna dan fungsi pengulangan atau pemajemukan dalam BDW.
Tahap penyimpulan dilakukan untuk mendeskripsikan hasil temuan dalam BDW pada tataran proses morfologis BDW. Simpulan ini merupakan gambaran atas jawaban dari fokus penelitian yang telah ditetapkan.
H.    Kriteria dan Teknik Pemeriksaan Data
Dalam penelitian ini, kriteria dan teknik pemerikasaan yang digunakan sebagai berikut:
1.      Kredibilitas peneliti (derajat kepercayaan), meliputi: perpanjangan keikutsertaan, menemukan siklus kesamaan data, ketekunan pengamatan, triangulasi kejujuran peneliti, pengecekan melalui diskusi, kajian kasus Negatif, dan pengecekan anggota;
2.      Kredibilitas metode pengumpulan data, meliputi: triangulasi metode dan triangulasi sumber data;
3.      Kredibilitas teoretis dan referensi, meliputi triangulasi teori dan kecukupan referensial;
4.      Kepastian, meliputi: uraian rinci; dan
5.      Kebergantungan, meliputi: audit kebergantungan (Bungin, 2010: 255).
Data dikatakan absah, apabila memenuhi empat kriteria teknik pemerikasaan. Keempat teknik pemeriksaan adalah derajat kepercayaan, keteralihan, kebergantungan, dan kepastian. Penerapan kriteria derajat kepercayaan dilakukan dengan dengan membuktikan hasil temuan pada kenyataan ganda oleh peneliti. Kriteria keteralihan dapat dilakukan dengan menyediakan data deskriptif yang cukup. Kriteria kebergantungan dilakukan dengan mengaudit data dan hasil temuan. Kriteria kepastian dapat dilakukan dengan audit kepastian (Moleong, 2006: 324).
Untuk menguji keabsahan data penelitian, maka digunakan teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pengujian keabsahan data dalam penelitian kualitatif (Sunarto, 2001: 140).
            Triangulasi  yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Triangulasi dengan sumber, yaitu membandingkan dengan mengecek kembali derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat berbeda dalam metode kualitatif. Menurut Patton, hal ini dapat dicapai dengan jalan: a) membandingkan data wawancara dengan hasil rekaman; b) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; c) membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu; d) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat seperti rakyat biasa, orang berada, dan orang-orang di pemerintahan; dan e) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (Moleong, 2006: 131).
2.      Triangulasi dengan peneliti lain, yaitu dengan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data.
3.      Triangulasi dengan teori, yaitu dengan menguraikan proses morfologis BDW, kemudian membandingkan atau mencari tema dan penjelasan pembanding. Menurut Patton, hal ini disebut penjelasan banding dan biasanya dapat dianalisis dengan cara induktif atau secara logika.
I.       Teknik Mengakhiri Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti akan melaporkan kepada pihak-pihak terkait, khususnya Camat Muara Wahau dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur bahwa peneliti telah menyelesaikan penelitiannya.
Peneliti juga meminta izin kepada kepala adat kepala desa suku Dayak di Kutai Barat. Selain itu, pada akhir penyelesaian setelah laporan penelitian ini telah diuji dan dipertanggungjawabkan, maka peneliti akan memberikan salinan kepada pihak-pihak terkait, khususnya Camat Muara Wahau dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Timur.
Penelitian ini diakhiri setelah diakhiri setelah peneliti merasa semua data yang diperlukan sesuai dengan fokus penelitian sudah lengkap dan tidak lagi menemukan data baru atau sudah mengalami kejenuhan, serta telah tercapai suatu tingkat kepercayaan yang memadai kebenaran data atau hasil penelitian.



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad HP. 1996. Linguistik Umum. Jakarta: DEPDIKBUD.
Al wasilah, A. Chaedar. 1986. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa.
Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Badudu, J.S. 1980. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.

Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
-----, 2006: Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Diah, Mohammad dkk. 1999. Morfosintaksis Bahasa Mantang. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Djajasudarma, T.Fatimah. 1992. Metodologi Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Keraf, Gorys. 1991. Tata Bahasa Rujukan Bahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah.

Koentjoroningrat. 1991. Metodologi Penelitian Masyarakat. Jakarta: LIPI.

Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata Dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Majalah Kalawarta edisi Juni 2006: The Nature Concervancy.


Mandaru, A. Mans dkk. 1998: Morfologi dan Sintaksis Bahasa Kemak. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Mardalis. 1989. Metode Penelitian Suatu Pendekaan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Moleong, J. Lexi. 2006. Metode Penelitian Kualitatif (Edisi Revisi). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nida, Eugena. A. 1963. Morphology: The Descriptive Analysis of Words. Ann Arbor: The University of Michigan.

Panga, Rizal Effendy. 2008. Afiksasi Bahasa Dayak Wehea. Samarinda: Skripsi pada Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mulawarman.

Parera, Josa Daniel. 1994. Morfologi Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Ramlan, M. 1997. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriftif. Yogyakarta: CV. Karyono.

Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Kanisius.

Samsuri. 1991. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.

Subagyo, P. Joko. 2004. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudjana, Nana, dkk. 2004. Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Sunarto. 2001. Metodologi Penelitian Ilmu-ilmu Sosial dan Pendidikan. Surabaya: Unesa University Press.

Taq, Ledjie. 2006. Nemlen, Sebuah Prosesi Erau Kepala Dari Suku Dayak Wehea. Kutai Timur: The Nature Concervancy.

Verhaar, J.WM. 2001. Asas-asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah mada university press.





5 komentar:

chris djoka mengatakan...

Salam kenal Rizal, terima kasih telah menulis tentang Bahasa Dayak Wehea, Sebuah Komunitas Adat yang pada masa lalu tertutup oleh sebuah Hagemoni dari Komunitas yang lebih besar.

Saya Chris Djoka, dulu pernah bekerja di The Nature Conservancy (TNC), dan kalau tidak salah ingat (kalau Rizal jadi anggota KKN di Desa Diaq Leway), mungkin pernah ngumpul2 bareng mereka Ika (Fekon) yang bermarkas KKN-nya di Sekertariat TNC Nehas Liah Bing.

Sekali lagi terima kasih, dan mohon ijin copy tulisannya dan nanti saya akan printout untuk dishare kepada Kepala Adat Nehas Liah Bing (Bapak Ledjie Taq).

O yah, pada 23 April 2013, Desa Nehas Liah Bing akan rayakan puncak Lom Plai (Ritual Embob Jengea), siapa tahu bisa datang dan bantu promote Wehea lagi melalui tulisan2nya, terima kasih.


Regards,
Chris Djoka
nuamuri.blogspot.com

Rizal Effendy Panga mengatakan...

Saya Rizal yang KKN di Desa Diaq Leway, Bang. Ketertarikan saya terhadap Budaya masyarakat ini karena masih banyak hal-hal yang belum terungkap dari segi linguistik maupun sastra Lisan yang ada di sana. Sudah lama sy kangen untuk ke sana. Penelitian S1 saya mengangkat Bahasa Wehea tentang "Afiksasi Bahasa Dayak Wehea".

Nampaknya saya sudah mengenal Bang Crish. Kita pernah ngobrol-ngobrol meski tidak begitu panjang, Bang. Ini salah satu tugas proposal untuk mata kuliah Metode Penelitian Kualitatif. Namun dalam pengajuan judul, judul ini tidak disetujui karena keterbatasan waktu penelitian. sehingga, judul tesis saya tidak mengaji bahasa Dayak Wehea. Mudah-mudahan, setelah kembali dari Surabaya, saya bisa menggali kembali keunikan budaya masyarakat Wehea ini.

Salam untuk Pak Ledjie Taq. Beliau adalah salah satu informan saya dalam penulisan skripsi. Terima kasih juga untuk Bang Crish yang bersedia mampir ke Blog ini. Mohon maaf Bang, untuk acara Lom Plai, saya belum bisa datang karena saya masih berfokus untuk menggarap penelitian tesis saya di Surabaya. Senang bisa ngobrol lagi dengan Bang Cris. Kalau ke Diaq Leway, Salam untuk Seluruh Masyarakat di Sana.

Salam,

Rizal Effendy Panga

chris djoka mengatakan...

Hi Mas Rizal, Bagaimana Kabar sekarang? Salam dari Wehea

petronila mengatakan...

Haloo, lam knl mas Rizal ?...
terima kasih telah mengangkat wehea ke kancah akademisi.dan harapan saya ini adalah awal bagi para akademisi untuk mengkaji potensi wehea baik dari bahasa, budaya, adat istiadat dan masih banyak lagi potensi làinnya.
buat bang Chris, kami berterima kasih sekali atas ilmu pendidikan yang abang bagikan untuk mengangkat wehea sampai saat ini.

Btw, jika mas Rizal ingin berkunjung wehea, kami sangat welcome skali.

salam,
petro

Suwardi mengatakan...

Tulisan blog yang cukup panjang karena memuat TA. Saya belum menemukan yang saya cari. Apa bahasa yang digunakan suku Dayak Wahea dalam kehidupan sehari-hari..?? Contoh Dayak Pantu dikalimantan barat Menggunakan bahasa BE"MAK dalam kelompok mereka dan bahasa Indonesia.

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman