Blog ini masih dalam pengembangan. Berbagi tidak hanya berbentuk materi, tetapi berbagi tulisan pun dapat memberikan kebahagian tersendiri.

TEORI WACANA-FOUCAULT DAN PENERAPANNYA DALAM PUISI “NOT” KARYA GOENAWAN MOHAMAD

Posted by Rizal Effendy Panga Jumat, 08 Maret 2013 0 komentar

A.       Pendahuluan
Teori Wacana-Foucault termasuk dalam pascastrukturalisme. Paham pascastruktualisme merupakan paham yang berbeda dengan paham strukutralisme, tetapi masih mengandung paham strukturalisme di dalamnya. Pascastrukturalisme bukan paham yang sama sama sekali baru yang seakan mucul begitu saja atau sebuah inovasi, sesuatu yang orisinal, melainkan sebuah paham baru yang masih terikat dengan paham sebelumnya, khususnya strukturalisme. Meskipun demikian, Foucault tidak pernah menyatakan diri mereka sebagai pascastrukturalisme. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa, pascastrukturalisme adalah teori-teori yang muncul setelah teori-teori strukturalis.
Pascastrukturalisme adalah wacana yang self-reflektif yaitu wacana yang secara terus menerus membelah dirinya dan melawan sistemnya sendiri, sehingga kritiknya menghindari diri untuk menjadi kukuh atau menjadi sebuah metode yang mapan. Aspek ini sungguh sering membuat wacana pascastrukturalis ini sering menyakitkan dan membingungkan bagi pembaca karena mereka tidak akan menemukan sebuah sistem yang utuh melainkan sesuatu yang tampak liar dan yang lebih membuatnya demikian adalah bahwa keliaran itu tidak dipahami sebagai kegagalan dalam memahami sesuatu, melainkan suatu kritik antisifatif terhadap batas-batas dari kehendak untuk berkuasanya sendiri (Faruk, 2008:9-10).

        Jika dibuat alurnya, teori-teori struktural dirasakan tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang didasarkan pada unsur dalam dari sebuah karya. Kelemahan-kelemahan strukturalisme kemudian dikritisi dan menimbulkan pemahaman konsep wacana yang berbeda. Beberapa ahli yang tidak puas dengan strukturalisme melakukan upaya untuk menyempurnakan analisis terhadap sebuah karya tidak hanya dipandang dari segi unsur-unsur yang membangunnya namun lebih melihat sisi-sisi liar dari sebuah karya. Gagasan-gagasan inilah yang disebut pascastrukturalisme. Pandangan ini pun melahirkan teori-teori baru, yaitu: teori psikoanalisis-Lacan, teori dekonstruksi-Derrida, dan teori wacana-Foucault.

Foucault menentang semua bentuk teorisasi global. Ia berusaha menghindari bentuk analisis yang totaliter dan sangat kritis pada sistematisasi. Meskipun tidak membentuk sistem, karya-karyanya memiliki koherensi mendasar yang berasal dari fakta bahwa karya-karya Foucault didasarkan pada visi sejarah yang diturunkan Nietzsche. Memang, ia mengakui pengaruh skema konsepsi sejarah Nietzsche yang disebut genealogi. Buku Nietzsche, On The Genealogy of Morals, merupakan upaya delegitimasi masa kini dengan memisahkannya dari masa lalu. Inilah yang Foucault upayakan. Tidak seperti sejarawan yang berusaha menelusuri alur keniscayaan sejarah, Foucault justru memisahkan masa lalu dan masa kini. Dengan menunjukkan keasingan masa lalu dari masa kini. Dengan menunjukkan keasingan masa lalu, ia merelativisasi dan memangkas legitimasi masa kini (Sarup, 2011:89)

Naskah atau karya dengan demikian merupakan artefak, di mana wacana atau teks mewujudkan identitasnya (Ratna, 2011:243). Bahasa berbeda dengan wacana sebab bahasa bersifat umum, sebaliknya wacana bersifat unik sebagai akibat keterkaitannya pada struktur sosial dan kebudayaan pada umumnya (Ratna, 2011: 248). Wacana memandang karya sastra bukan hanya berdasarkan teks formalnya saja, namun memandang fenomena-fenomena yang muncul dari sebuah teks. Fenomena yang muncul pasti berkaitan dengan latar budaya dimana sebuah naskah dilahirkan.

Foucault menggambarkan lima tahap proses untuk menganalisis peristiwa diskursif atau wacana, sebagai berikut: (1) memahami pernyataan menurut kejadian yang sangat khas, (2) menentukan kondisi keberadaannya, (3) menentukan sekurang-kurangnya limitnya, (4) membuat korelasinya dengan pernyataan yang lain yang mungkin terkait dengannya, dan (5) menunjukkan apa bentuk lain pernyataan yang ia keluarkan (Ratna, 2011:283).

Tahap analisis ini digunakan untuk mengungkap fenomena-fenomena yang terdapat di dalam naskah yang akan dianalisis. Pemahaman pernyataan kejadian yang khas dari kejadian yang lain dapat memberikan pandangan yang berbeda. Kondisi keberadaan naskah, hal-hal yang mempengaruhinya, dan budaya lingkungan sekitar turut mendukung pemahaman kita terhadap sebuah naskah. Dalam mengkaji sebuah naskah, kita juga harus memberikan batas kajian atau bagian apa yang ingin kita analisis. Setelah kita mendapatkan unsur-unsur yang membangun wacana dari sebuah naskah, maka kita dapat mengaitkan unsur-unsur tersebut untuk menemukan keterikatannya. Dengan melihat fenomena keterkaitan unsur-unsur tersebut kita dapat membuat sintesa dari analisis yang telah kita lakukan.

B.        Tokoh Teori Wacana
Michel Foucault lahir di Poiters, Perancis, tahun 1926. Ia berasal dari kalangan medis. Ayahnya seorang ahli bedah, juga saudara, dan kakeknya. Orang tua Foucault menginginkan anaknya memilih profesi yang sama, tetapi ia justru tertarik pada studi filsafat, sejarah, dan psikologi. Dalam bidang medis, kita bisa menemukan pemikiran Foucault yang berkaitan erat dengan bidang medis, yaitu psikopatologi. Setelah menyelesaikan pendididikan di Ecole Normale Superiore pada 1946, ia memperdalam lagi bidang filsafat hingga meraih lisensi dalam bidang psikologi. Ia juga mendapat diploma dalam psikopatologi. Ia sempat terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Komunis Perancis hingga 1951.
Michel Foucault dikenal sebagai seorang intelektual yang cukup produktif dalam melakukan peneletian dan menerbitkannya sebagai buku. Bukunya yang pertama berjudul Maladie Mentale et Personnalitte (Penyakit Mental dan Kepribadian), terbit pada tahun 1954 dan habis terjual di pasaran. Setelah itu, ia mengerjakan penelitian untuk disertasi yang kemudian diberi judul Folie et Deraison. Historie de la Folie a l’age Classique (Kegiatan dan Ketaksadaran. Sejarah Kegilaan dalam Periode Klasik). Karya inilah yang kemudian mengantarkan meraih gelar ‘doktor’. Disertasi itu sendiri diterbitkan sebagai buku dengan judul Historie de la Folie (Sejarah Kegilaan).
Karir akademisnya diawali ketika ia menjadi staf pengajar pada Universitas Uppsala (Swedia) untuk bidang sastra dan kebudayaan Perancis. Kemudian, ia juga menjadi dosen di pelbagai universitas di Perancis, hingga akhirnya mendirikan Universitas Paris-Vincennes, sebuah universitas ekperimental. Ia ingin melakukan pembaruan pendidikan universitas setelah terjadinya revolusi sosial tahun 1968.
Foucault juga memberikan perhatian yang besar pada permasalahan kebudayaan. Ia sempat menjadi direktur Pusat KebudayaanPrancis di Warsawa (Polandia) dan Hamburg (Jerman). Karya-karya Foucault yang lain adalah Madness and Civilization, The Birth of Clinic, Archaeology of Human Science, The Order of Things, The Archeology of Knowledge, Discipline and Punish, serta trilogy The History of Sexuality. Foucault meninggal dunia tahun 1984, dalam usia 57 Tahun karena penyakit AIDS yang dideritanya (Foucault, 2011:5-6).

C.       Konsep Teori Wacana-Foucault
Michel Foucault mendasarkan pemikirannya pada sejarawan Nietzschean. Nietzschean memulai dari masa kini dan bergerak mundur ke masa lalu sampai perbedaan itu ditemukan. Kemudian, ia bergerak maju kembali, menelusuri proses transformasi dan berusaha mempertahankan, baik diskontinuitas maupun kontinuitas. Masa kini dipandang sebagai rasionalitas dan masa lalu sebagai sesuatu yang irasional. Jurang kesenjangan antara masa lalu dan masa kini menggarisbawahi prinsip perbedaan yang merupakan pusat histografi Foucault.
Analisis Genealogis berusaha membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa, meninggalkan peristiwa spektakuler untuk peristiwa sepele yang diabaikan dan keseluruhan rentang fenomena yang sering ditolak sebagai sejarah. Genealogi berfokus terutama pada pengetahuan local, diskontinu, remeh temeh, dan dianggap tidak sah di hadapan klain kesatuan teori yang akan menyaring , menyusun secara hierarkis dan menatanya atas nama pengetahuan sejati tertentu. Genealogi adalah sebuah bentuk kritik. Genealogi menolak pencarian asal usul dan lebih tertarik pada konsepsi awal mula historis sebagai sesuatu yang bersifat rendahan, kompleks, dan kebetulan. Genealogi berusaha menyingkap keanekaragaman faktor di balik suatu peristiwa dan kerapuhan bentuk-bentuk sejarah (Sarup, 2011:90-91).
Sepanjang hidupnya Foucault tertarik pada apa yang selama ini diabaikan penalaran: kegilaan, kebetulan, dan diskontinuitas (Sarup, 2011:92). Foucault memaparkan bagaimana kegilaan sama dengan kemiskinan, pengangguran, dan ketidakmampuan kerja yang dipandang sebagai masalah sosial, yang menjadi tanggung jawab negara.
a.   Kegilaan
Pada Zaman Renaisans, orang gila dibiarkan beraktivitas di tempat umum. Orang gila diizinkan hidup ditengah-tengah masyarakat. Mereka adalah orang yang disebut sebagai ‘orang desa yang dungu’ yang tidak menikah, tidak terlibat dalam permainan, dan dia diberi makan serta dukungan moral oleh orang lain. ia berkelana dari desa ke desa, kadang-kadang dia masuk ke dalam militer atau menjadi seorang pedagang. Tapi ketika kegilaannya kambuh dan menjadi berbahaya bagi orang di sekitarnya, maka masyarakat membuatkannya sebuah rumah kecil di luar kota, di mana mereka dapat sesekali mengurung dia (Foucault, 2011: 113).

Seiring dengan berjalannya waktu, pada abad ke-17 pada era masyarakat industri, kepekaan sosial masyarakat Eropa mulai terbentuk, maka rumah pengurungan besar, kadang-kadang disebut sebagai rumah perbaikan dibangun di seluruh penjuru Eropa. Ditempat-tempat itulah gelandangan yang miskin, pengangguran, pemalas, orang sakit,  pelaku tindak kejahatan, dan orang gila dikurung. Mereka sama sekali tidak dibedakan.
Pada abad ke-18, pengurungan ini dianggap sebagai sebuah kesalahan besar. Rumah-rumah pengurungan ini lambat laun menghilang di seluruh penjuru Eropa pada awal abad ke-19. Selama periode klasik, kemiskinan, kemalasan, kejahatan, dan kegilaan bercampur dalam rasa salah yang sama dalam kategori sebagai gangguan sosial. Tuke, membangun rumah sakit jiwa. Ia menganti toeri kegilaan yang bebas dengan penderitaan yang mencekik akibat penamaan sikap tanggung jawab. Hal ini memang benar, namun rumah sakit jiwa tidak lagi menghukum rasa bersalah orang-orang gila, bahkan lebih jauh lagi, rumah sakit jiwa justru mengorganisasi rasa bersalah itu. 
Foucault mengatakan ada dimensi yang hilang dalam penalaran atau dengan kata lain, mungkin dalam kegilaan terdapat kebijaksanaan (Sarup, 2011:96). Manusia telah dibebaskan dari ikatan rantai fisik, tapi kini dibelenggu dengan ikatan rantai mental. Menurut Foucault, kegilaan tidak pernah dipahami; kegilaan tidak dapat dijelaskan secara utuh dengan konsep-konsep yang kita gunakan untuk mendeskripsikannya. Bagi Foucault, menjadi bebas berarti tidak menjadi makhluk yang rasional dan sadar. Para kritikus mempersoalkan, bagaimana Foucault menangkap semangat kegilaan bila ia jelas-jelas menulis dari sudut pandang penalaran. Ciri tulisan Foucault adalah kecenderungan meringkas sejarah umum menjadi penelusuran kelahiran lembaga-lembaga tertentu. Wacana sebaiknya dipahami sebagai praktik yang secara sitematik membentuk objek-objek yang dibahas.
Wacana dalam pandangan Foucault memiliki relevansi dengan seluruh bidang kehidupan. Kegilaan erat kaitannya dengan kekuasaan. Kegilaan adalah gangguan mental atau definisi yang lebih manusiawi adalah orang-orang yang berprilaku berbeda dengan orang lain yang mengakibatkan mereka dianggap sebagai individu-individu yang marginal (Ratna, 2011: 284).
b. Kekuasaan
Ketika kita berbicara tentang Foucault, maka kita juga berbicara tentang kekuasaan. Wacana, institusi dan kekuasaan berkonfrontasi satu sama lain. Foucault mengenalkan istilah Pertarungan antarwacana melalui wacana. Untuk memahami konsep ini ada kasus Pierre Riviere.

Pierre Riviere adalah seorang ‘pengarang’. Pada tahun 1835, pemuda yang berusia dua puluh tahun dari keluarga petani itu membunuh ibu, saudara perempuan, dan saudara laki-lakinya. Di penjara ia menuliskan riwayat hidup singkat yang mengungkapkan fakta dan penjelasan tentang kejahatan yang ia lakukan. Meskipun hanya mengenyam pendidikan di desa, ia mampu menulis teks yang sangat indah dan mengesankan. Riwayat hidupnya menarik minat sejarahwan dan para pakar lain karena memunculkan banyak pertanyaan. Kisah ini memiliki nilai sastra yang tinggi karena menimbulkan beragam penafsiran. Hal menarik dari buku ini ada dua argumen yang saling bertentangan, para dokter menganggap bahwa ia gila, sementara para pengacara menganggap ia waras. Para dokter berfokus pada ‘perilaku ganjilnya’ sebagai tanda kegilaan dan para pengacara menekankan kecerdasan Riviere dalam menuangkan gagasan atas kejahatannya dalam bentuk tertulis yang mengesankan dan menimbulkan berbagai penafsiran. Batas antara rasionalitas dan kegilaan sulit ditentukan. Riwayat hidup Riviere sebagai bukti rasionalitas yang menjadi alasan untuk mengantarkannya ke tiang guillotine. Sementara riwayat hidup itu juga menggambarkan tanda-tanda kegilaan yang lebih memilih mengisolasikannya di rumah sakit jiwa. (Sarup, 2011:100-101)

Foucault menunjukkan dokumen ini, memberi kita kata kunci untuk memahami pola hubungan kekuasan, dominasi, dan konflik di mana wacana muncul dan berfungsi. Hal ini menyediakan bahan bagu analisis wacana potensial yang mungkin bersifat taktis, politis, dan strategis.
Foucault mempunyai minat untuk menemukan kembali interaksi pelbagai macam wacana sebagai senjata untuk menyerang dan bertahan dalam pola hubungan kekuasaan dan pengetahuan. Foucault mengatakan pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain, kekuasaan untuk mendefiniskan yang lain. Pengetahuan tidak lagi menjadi mode pengawasan, peraturan, dan disiplin. di masyarakat feodal di bawah kekuasaan monarkis, pengadilan tidak banyak menahan pelaku tindak kejahatan dan hukuman yang diberikan dibuat spektakuler agar yang lain takut untuk melakukan kejahatan yang sama. Berbeda dengan kekuasaan disipliner, sistem pengawasan yang dibatinkan sampai pada titik di mana setiap orang menjadi pengawas bagi dirinya sendiri.

Kekuasaan bukanlah mekanisme, melainkan hakikat produktif. Kekuasaanlah yang memicu munculnya objek-objek pengetahuan yang baru. Kekuasaan dan pengetahuan dengan demikian tak bisa dipisahkan. Kekuasaan dalam hubungan ini tidak memiliki konotasi negative atau represif, seperti dilakukan melalui pemahaman secara tradisional yang biasanya didasarkan atas kekuatan hukum, larangan, penyensoran, dan sanksi-sanksi yang lain. sehingga melawan kekuasaan dianggap memiliki nilai-nilai positif sebab kekuasaan berasal dari daerah pinggiran. Kekuasaan tidak berasal dari penguasa atau negara. Kekuasaan bukanlah institusi, struktur, superstruktur, atau suatu kekuasaan yang ada dalam masyarakat, kekuasaan tidak harus terikat pada politik tertentu. Kekuasaan ada di mana-mana, kekuasaan bersifat jaringan, berasal dari mana-mana menyebar ke mana-mana, dan bersifat lokal (Ratna, 2011:281).

Konsep negara sebagai sesuatu yang serba menguasai dan serba mengetahui yang menyatakan bahwa negara adalah pengawasan ‘panoptik’ berarti serba melihat. Panoptikon merupakan desain penjara melingkar yang dipahami utilitarian abad ke-18 Jeremy Bentham sebagai desain yang terdiri dari deretan sel-sel bertingkat yang semuanya dapat diawasi oleh seorang sipir yang ditempatkan di tengah lingkaran. Namun, negara panoptik melestarikan pengawasannya bukan dengan kekuatan fisik dan intimidasi, melainkan dengan kekuatan praktik-praktik diskursifnya (Foucault menyebutnya diskursif atau wacana) yang menyebarkan ideologinya melalui politik tubuh. Diskursus atau wacana bukan sekadar cara berujar atau cara menulis, melainkan keseluruhan “rangkaian mental” dan ideologi yang menyertakan pemikiran semua anggota dalam masyarakat tertentu. Foucault membuat perbedaan yang lebih fleksibel yaitu membedakan antara struktur represif dan struktur ideologis. Praktik-praktik diskursif Foucault berkenaan dengan cara kekuasaan diinternalisasikan oleh mereka yang dipinggirkan oleh kekuasaan tersebut, sehingga kekuasaan tersebut tidak perlu ditanamkan secara konstan dari luar (Barry, 2010:205-206). 

Foucault memusatkan perhatian pada bahasa dan pembentukan subjek wacana. Foucault bergeser dari determinasi linguistic ke pandangan bahwa individu dibentuk pola hubungan kekuasaan, di mana kekuasaan menjadi prinsip realitas sosial yang tertinggi. Konsepsi kekuasaan negatif, peradilan dengan konsepsi kekuasan teknis dan strategis. Foecault mengatakan kekuasaan bukanlah kepemilikan ataupun kemampuan. Kekuasaan bersifat jaringan, menyebar ke mana-mana. Kekuasaan seharusnya tidak memusatkan perhatian pada tingkat tujuan sadar, tetapi pada poin penerapan kekuasaan.
Foucault mengubah titik perhatian dari pertanyaan, seperti “Siapa yang memiliki kekuasaan?” atau “Apa tujuan atau maksud pemegang kekuasaan?” ke proses-proses yang membentuk subjek sebagai hasil pengaruh kekuasaan. Kekuasaan menciptakan realitas. Kekuasaan menciptakan domain objek dan ritual kebenaran. Kekuasaan membuat gila. Namun, kita juga harus memperhatikan fakta bahwa, kekuasaan menciptakan dan melahirkan objek pengetahuan yang baru. Sebaliknya, pengetahuan kekuasaan tidak mungkin dijalankan pengetahuan tidak mungkin tidak melahirkan kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi bekerja melalui mekanisme dari atas ke bawah.
Menurut Foucault, pola hubungan kekuasaan diferensial yang kompleks ke setiap aspek kehidupan sosial, budaya, dan politik melibatkan semua bentuk ‘posisi-subjek’ dan menjaga kesepakatan kita bukan dengan ancaman sanksi hukuman melainkan dengan membujuk kita untuk menginternalisasikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam tatanan sosial. Foucault mengatakan, ketika orang tertindas menuntut keadilan, tuntutan tersebut hanyalah dalih fakta bahwa sebenarnya mereka sendiri yang ingin berkuasa (Sarup, 2011:127)
c.       Seksualitas
Konsep penting Foucault yang lain adalah seksualitas. Seksualitas dan kegilaan dibicarakan dalam kaitannya dengan pencapaian kekuasaan. Kekuasaan tidak semata-mata berkaitan dengan represi atau penindasan, melainkan juga dengan kesenangan, artinya ada hubungan saling menguntungkan antara dua mekanisme wacana, yaitu wacana kekuasaan dengan wacana kenikmatan (Ratna, 2011:284). Terjadilah hubungan kekuasan dengan kenikmatan yang digunakan untuk meneliti, menjelaskan, dan memantau seksualitas. Seksualitas merupakan produk positif kekuasaan daripada kekuasaan, daripada kekuasaan yang menindas seksualitas.

Pada abad pertengahan, seksualitas hanya berkaitan dengan tubuh. Dengan reformasi dan kontra-reformasi, wacana seksualitas mulai berubah bentuk. Seksualitas mulai dipahami dalam pengertian pikiran dan tubuh. Perubahan ini mirip dengan pola perubahan yang ditemukan Foucault dalam sejarah kejahatan dan hukuman yang ia kaji, dalam perubahan seksualitas itu, wacana menjadi semakin intensif dari perhatian pada tindakan dan tubuh ke perhatian pada pikiran dan tujuannya (Sarup, 2011:108-109).

Foucault menyatakan keberatannya pada hipotesis represif yang menyatakan bahwa kekuasaan negatif sebagai larangan atau pembatasan. Seksualitas bukanlah realitas alamiah melainkan produk sistem wacana dan praktik yang membentuk bagian-bagian pengawasan dan kontrol individu yang semakin intensif. Seksualitas yang tampaknya alamiah sebenarnya adalah produk kekuasaan. Tujuan utama Foucault adalah mengkritik cara masyarakat modern mengontrol dan mendisiplinkan anggota-anggotanya dengan mendukung klaim dan praktik pengetahuan ilmu manusia. Foucault bergeser dari determinasi linguistik ke pandangan bahwa individu dibentuk pola hubungan kekuasaan, di mana kekuasaan menjadi prinsip realitas sosial yang tertinggi.
Hipotesis Foucault tentang sejarah seksualitas. Fenomena ini, yang nyaris marjinal, memukau para dokter. Fenomena ini adalah histeria. Freud menunjukkan kesalahpahaman subjek terhadap dirinya sendiri adalah titik labuh bagi psikoanalisis, sebenarnya itu adalah kesalahpahaman subjek, bukan terhadap dirinya secara umum, melainkan terhadap hasratnya atau seksualitasnya.

Pertentangan antara masyarakat yang mencoba mempertahankan sebuah diskursus ilmiah mengenai seksualitas seperti yang kami lakukan di Barat dan masyarakat di mana diskursus mengenai seksualitas juga sangat besar, sangat berkembang biak, dan sangat berlipat ganda, namun tidak berusaha membentuk sebuah ilmu, tapi sebaliknya, mendefinisikan sebuah seni-seni yang berupa seni menghasilkan, melalui hubungan seksual atau dengan organ seksual, sejenis kenikmatan yang hendak kita buat paling intens, paling kuat atau bertahan selama mungkin (Carrette, 2011:169).

Seksualitas dari sudut pandang represi atau eksklusi: diskursus seksualitas ditandai dengan larangan dan dicirikan dengan kelangkaan. Dunia seksualitas adalah dunia yang dipenuhi larangan. Foucault beranggapan, diskursus seksualitas tidak lagi sebagai objek represi, melainkan lebih sebagai sesuatu yang berbiak dalam arena ilmiah. Hipotesis Foucault, bahwa pada dasarnya Barat tidak benar-benar menyangkal seksualitas, namun Barat memasukkan ke dalam seksualitas, mengembangkan, berawal dari seksualitas, seluruh perangkat mekanisme yang merupakan soal pembentukan individualitas, pembentukan subjektivitas, pendek kata, soal cara kita berperilaku dan cara kita menyadari diri kita sendiri.
d.      Tatanan Wacana
Menurut Foucault, sekarang kaum intelektual harus mengakui bahwa pencerahan adalah wacana budaya dan historis yang klaim kebenaran dan nilai-nilainya tidak lebih dari sekadar sebuah episode pendek dalam sejarah pemikiran modern. Sejarah sering digunakan untuk mendeskripsikan pendekatan yang menyeragamkan masa lalu dan sering diasosiasikan dengan narasi induk “master”. Sebaliknya, Foucault mengadopsi perspektif Nietzschean atau genealogis yang melihat klain kebenaran sebagai produk kehendak untuk berkuasa yang tersebar luar dalam bahasa, wacana, atau representasi (Sarup, 2011: 114).
Michel Foucault mengatakan selama tiga abad masyarakat barat telah membuat berbagai kesalahan besar, di antaranya: a) menganggap bahwa pengetahuan objektif dapat diungkapkan, b) pengetahuan objektif bersifat netral (bebas nilai), dan c) pengetahuan objektif dapat memberikan manfaat bagi seluruh umat manusia (Ratna, 2011: 279).
Teori Foucault mengenai tatanan wacana berangkat dari hipotesis bahwa dalam setiap masyarakat produksi wacana selalu sekaligus dikontrol, diseleksi, diorganisasi, dan didistribusikan dengan sejumlah prosedur yang peranannya adalah untuk mengawasi kuasa-kuasa dan bahaya-bahayanya untuk memperoleh penguasaan atas peristiwa-peristiwanya yang bersifat kebetulan untuk menghindari materialitasnya yang berat dan membosankan. Salah satu prosedur dalam produksi wacana itu adalah eksklusi yang antara lain berupa pelarangan. Ada tiga jenis pelarangan, Menurut Foucault yang saling berinterseksi, saling memperkuat, dan saling melengkapi satu sama lain, yaitu larangan objektif, larangan kontekstual, dan larangan subjektif. Berbagai larangan itu menunjukkan bahwa wacana terkait dengan hasrat dan kuasa (Faruk, 2008: 70).
Prinsip prinsip eksklusi yang lain adalah pemisahan dan penolakan. Orang gila merupakan salah satu contoh kelompok masyarakat yang wacananya dipisahkan dan ditolak. Apa yang mereka katakana dianggap kosong, tidak bermakna, tidak berharga. Kecenderangan demikian, secara institusional, ditemukan di dalam hukum. Kesaksian orang yang dianggap gila atau sakit jiwa tidak dapat dipercaya dan  dan ditolak kebenarannya. Namun, dalam konteks konteks masyarakat, kebudayaan, dan masa tertentu, kuasa-kuasa asing yang tidak dapat dimiliki orang lain dianggap dapat dijangkau oleh orang gila: kuasa untuk mengatakan kebenaran yang tersembunyi, meramalkan masa depan, dan sebagainya (Faruk, 2008: 71).
Sistem ekslusi berikutnya adalah gagasan mengenai benar dan salah. Jika, dilihat dari wacana, pembagian benar dan salah itu tidak semaunya, tidak dapat dimodifikasi, tidak institusional, dan tidak mengandung kekerasan. Namun, jika dipandang dari skala yang berbeda, maka keadaan menjadi sebaliknya. Foucault mengatakan, kebenaran itu bersandar pada sokongan institusional. Ia sekaligus diperkuat dan diperbarui oleh strata menyeluruh praktik-praktik seperti pendidikan, sistem buku-buku, penerbitan-penerbitan, masyarakat terpelajar, dan perpustakaan-perpustakaan. Selain itu, kebenaran diperbarui juga oleh cara yang dengan kebenaran pengetahuan itu dipekerjakan, disahkan, didistribusikan, dan diatribusikan di dalam masyarakat. Semua itu menjelaskan kecenderungan kehendak kebenaran untuk menjalankan sejenis tekanan, sesuatu yang menyerupai kuasa untuk menghambat, merintangi wacana-wacana yang lain (Faruk, 2008: 71-72).
Selain prosedur eksternal, seperti sistem eksklusi, terdapat prosedur lain yang bersifat internal yang berfungsi mengontrol dan membatasi wacana.  Prosedur ini dipelukan karena wacana-wacana itu sendiri melaksanakan kontrolnya sendiri-sendiri, antara lain: sistem klasifikasi, penataan, dan pendistribusian (Faruk, 2008: 72).
Foucault mengira bahwa di semua masyarakat terdapat naratif-naratif utama yang selalu diceritakan kembali, diulang, dan dimodifikasi: formula-formula, teks-teks, seperangkat wacana ritualistik yang diceritakan kembali dalam lingkungan yang sudah ditentukan dengan baik. Perbedaan antarwacana tentu saja tidak stabil, tidak tetap, dan tidak pula mutlak. Di satu sisi, terdapat massa wacana fundamental atau kreatif yang jadi dan berlaku untuk selamanya dan di pihak lain, terdapat wacana yang mengulangi, memperhalus, dan member komentar atas wacana yang ada. salah satu wacana yang menarik perhatian Foucault adalah apa yang ia sebut sebagai komentar. Di satu pihak komentar, memungkinkan konstruksi wacana baru tanpa batas: dominasi teks utama, ketatapannya, statusnya sebagai sebuah wacana yang akan selalu dapat direaktualisasikan , makna-maknanya yang beraneka dan terselubung, kekayaan esensial yang disifatkan padanya, semuanya merupakan dasar bagi sebuah kemungkinan yang terbuka untuk berbicara. Namun, di pihak lain apa pun teknik yang digunakan komentar juga berperan untuk mengatakan pada akhirnya apa yang secara diam-diam dikatakan melampaui teks itu sendiri. Dengan paradox yang tidak akan pernah ia hindarkan tetapi yang dapat ia plesetkan, komentar harus mengatakan apa yang sudah dikatakan dan sekaligus yang tidak pernah dikatakan. Komentar memungkinkan orang untuk mengatakan sesuatu yang lain daripada teks itu sendiri, tetapi dengan syarat bahawa yang dikatakannya itu dibuat seakan teks itu sendiri yang mengatakan (Faruk, 2008: 72-73).
Selain itu, terdapat pula prinsip refraksi wacana yang lain, yaitu pengarang. Yang dimaksud pengarang bukanlah individu yang berbicara, menyatakan, atau menulis teks, melainkan sebuah prinsip pengelompokan wacana-wacana yang dipahami sebagai kesatuan dan asal-usul dari makna wacana itu sebagai fokus bagi koherensinya. Prinsip demikian tidak berlaku untuk semua wacana. Banyak wacana yang yang tidak diatributkan kepada pengarang sebagai penulis teks, tetapi juga ada yang memang diatributkan kepada pengarang tertentu. Menurut Foucault, atribusi wacana pada pengarang itu tidak mempunyai tingkat peranan yang sama pada semua wacana. Peranan pengarang memperlihatkan kecenderungan semakin kuat di dalam wacana kesusastraan di abad ketujuh belas (Faruk, 2008: 74).
Prinsip pembatasan yang ketiga adalah apa yang disebut disiplin (dalam ilmu pengetahuan). Menurut Foucault, organisasi disiplin ini bertentangan dengan prinsip komentar dan pengarang karena sebuah disiplin ditentukan oleh ranah objek-objek, seperangkat metode-metode, satu korpus proposisi-proposisi yang dianggap benar, sebuah permainan aturan-aturan dan definisi-definisi, teknik-teknik dan instrument-instrumen, yang kesemuanya merupakan sejenis sistem  anonim dengan membuang seorang yang ingin atau mampu menggunakannya dengan tidak mengaitkan maknanya dengan orang-orang yang menemukannya. Sebuah disiplin ilmu harus memungkinkan perumusan pernyataan-pernyataan baru secara tidak terbatas. Hanya saja, pernyataan baru itu hanya dikatakan benar dan dalam hal inilah menjadi prinsip pembatasan (Faruk, 2008: 75).
Ada kondisi aplikasi pada tatanan wacana ini. kelompok prosedur ini bukan masalah penguasaan atas kuasa wacana atau untuk mencegah ketakterdugaan penampilannya, melainkan untuk menentukan syarat penggunaannya, untuk memaksakan sejumlah aturan pada individu-individu yang memegangnya dan tidak mengizinkan setiap orang mempunyai akses kepadanya. Salah satu bentuk pembatasan yang demikian adalah yang disebut ritual. Ritual menentukan kualifikasi yang harus dimiliki individu untuk berbicara, ia menentukan pula gerak-gerik, perilaku, lingkungan, dan seperangkat menyeluruh tanda-tanda yang harus menyertai wacana dan akhirnya ia mengukuhkan pengaruh yang diperkirakannya dan yang dipaksakan dari kata-kata, efeknya terhadap siapa saja yang padanya wacana itu dialamatkan, dan menentukan pula batas-batas dari nilai pembatasannya (Faruk, 2008: 76).
Cara yang agak berbeda dari pemungsian ini adalah masyarakat wacana yang berfungsi untuk menyediakan dan menghasilkan wacana, tetapi sekaligus juga untuk membuatnya beredar hanya dalam sebuah ruang yang tertutup mendistribusikannya hanya sesuai dengan aturan-aturan yang ketat, dan mengupayakan agar distribusi itu tidak membuat pemiliknya menjadi kehilangan miliknya (Faruk, 2008: 76).
Cara pembatasan lainnya adalah doktrin. Berbeda dari masyarakat wacana yang berusaha menyebarkan pengetahuan mereka hanya pada lingkungan yang terbatas, doktrin cenderung untuk disebarkan dan hanya dengan berpegang pada wacana yang sama individu kemudian menentukan kesetiaan timbal-balik mereka. Cara selanjutnya adalah aprosiasi sosial wacana. Walaupun pendidikan dapat menjadi instrument aprosiasi ini karena dapat membuat banyak orang dapat memperoleh akses ke pengetahuan, hal itu tidak membuat wacana itu lepas dari jarak-jarak, oposisi-oposisi, dan pertarungan-pertarungan sosial. Cara-cara tersebut di atas: ritual tutur, masyarakat wacana, kelompok-kelompok doktrinal, dan apsosiasi sosial hanya dapat dipisahkan secara abstrak, bukan dalam pengalaman yang konkret. Menurut Foucault, prosedur ini disebut prosedur-prosedur subjeksi yang digunakan oleh wacana (Faruk, 2008: 77).
Menurut Foucault, langkah-langkah metodologis yang perlu dilakukan bagu analisis wacana, adalah sebagai berikut: 1) prinsip pembalikan dengan melihat adanya suatu pemotongan dan penyaringan makna, 2) prinsip diskontinuitas yang menyangkut kesediaan menempatkan aneka wacana di dalam masyarakat bukan sekadar sebagai yang ditekan oleh wacana utama, melainkan Terutama sebagai wacana yang tidak berkesinambungan dengannya yang melintasi , saling berjajar, tetapi juga saling mengeksklusi dan tidak saling kenal satu sama lain, 3) prinsip spesifisitas adalah anggapan bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia terhadap benda-benda, suatu praktik yang dipaksakan pada benda-benda itu, dan dalam praktek itulah peristiwa-peristiwa wacana menemukan prinsip regularitasnya, 4) prinsip eksterioritas ini menyangkut perlunya memperhatikan kondisi-kondisi eksternal yang memungkinkan wacana, pemunculannya, regularitasnya, apa yang membangkitkan serangkaian peristiwa-peristiwa itu dan apa yang mengukuhkan batas-batasnya.  Dengan demikian, ada empat posisi yang menjadi prinsip pengatur analisis wacana: peristiwa, rangkaian, regularitas, dan kondisi posibilitas. Peristiwa dipertentangkan dengan kreasi, rangkaian dengan kesatuan, regularitas dengan originalitas, kondisi kemungkinan dengan signifikasi (Faruk, 2008: 78).
Dalam menganalisis wacana, Foucault menggunakan dua arah analisis, yaitu: analisis kritis dan analisis genealogis. Analisis kritis melaksanakan pembalikan, mencoba menjangkau bentuk-bentuk eksklusi, pembatasan, dan aprosiasi. Secara lebih kongkret, analisis ini menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk itu dimodifikasi dan diplesetkan atau diubah, hambatan-hambatan apa yang diakibatkannya, seberapa jauh bentuk-bentuk itu dihindarkan. Analisis genealogis melaksanakan tiga prinsip yang lain, yaitu bagaimana rangkaian wacana terbentuk, melintasi apa, menggantikan apa, atau dengan dukungan apa sistem-sistem hambatan ini. apa norma spesifik dari masing-masing prinsip itu, bagaimana norma spesifik dari masing-masing prinsip itu, bagaimana kondisi pemunculannya, pertumbuhannya, dan variasinya. Analisis kritis terarah pada kontrol wacana. Analisis genealogis berurusan dengan formasi wacana efektif entah dalam batas-batas kontrol itu, atau pun di luarnya atau di antara keduanya. Apabila tugas kritis berusaha menganalisis proses penyaringan atau pengurausan, serta juga pengelompokkan dan unifikasi wacana. Genealogi mempelajari formasi wacana itu, formasi yang sekaligus tersebar, diskontinus, dan regularitas. Menurut Foucault, kedua tugas tersebut, kritis dan genealogis  pada dasarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. keduanya tidak berdiri sendiri pada sisi yang berbeda-beda (Faruk, 2008: 79).

D.       Analisis Teori Wacana dalam Puisi Not  Karya Goenawan Mohamad
Dalam analisis teori ini, saya mengambil puisi Not Karya Goenawan Mohamad sebagai bahan analisis. Adapun puisi tersebut adalah sebagai berikut:

Not

Malam itu ia coba tirukan,
dengan bunyi senar gitar, tetes air
yang saling bertemu
di talang serambi.
Tapi yang terbentuk dari langit
hanya lagu.
‘Aku tak ingin lagu’,
katanya.
Tak seorang pun tahu apa yang ia inginkan. Mungkin sesuatu yang lepas,
not yang tak terkait dengan angin yang datang ke bubungan ketika hampir fajar.
‘Kau selalu menghendaki yang sulit’
– itu kesimpulan perempuan yang tidur
di sebelahnya
pada dinihari sebelumnya.
Ia mengangguk. ‘Aku selalu berdoa
kepada Tuhan yang tak sengaja’, sahutnya, ‘Tuhan yang sudah lama mati.’
Dan ia kembali memetik senar.
Menjelang matahari terbit,
di atas deretan gudang ia lihat langit memperlihatkan kilat sejenak.
Lampu-lampu menghalaunya.
Akan ada petir yang jatuh
pada penangkal di sebuah bukit, pikirnya,
jauh di pedalaman,
tak tahu ia tak akan hilang.
‘Bersama sebuah not’.



            Dalam puisi di atas, wacana pertama yang timbul adalah munculnya kata not. Bila ditinjau dari kata not, maka akan menimbulkan dua arti yang berbeda, yaitu not yang berarti ‘tidak’ dan not yang berarti ‘tanda dari sebuah nada’. Kata ‘tidak’ menimbulkan diskursif atau wacana bahwa ‘tidak’ merupakan lambang penolakan terhadap sesuatu yang memberikan pengaruh pada hal tersebut. Penolakan itu tentunya karena adanya kekuasaan represif atau penindasan dari sesuatu yang lain.
            Sementara, makna not yang berarti tanda dari sebuah nada memberikan gambaran kepada kita sebuah prinsip dari sebuah nada. Nada akan berjalan beriringan. Tidak ada saling tindas. Jika ingin menghasilkan nada yang selaras, maka setiap not harus saling bekerja sama, kata ‘tidak’ ditiadakan. Begitu juga dengan kekuasan. Kekuasan represif akan menimbulkan pertentangan, sehingga dalam kekuasan represif akan menimbulkan banyak sekali not untuk menolak penindasan sesuatu kepada sesuatu yang lain.  
            Dalam bait pertama, malam itu ia coba tirukan, dengan bunyi senar gitar, tetes air yang saling bertemu di talang serambi. Kalimat ini menimbulkan diskursus harmonisasi, bahwa setiap kekuasaan itu tak bisa dipaksakan. Tetes air mengikuti iramanya bergabung dengan tetes air yang  lain, menyatu untuk membangun not. Tokoh ia  pun bersepakat dengan harmonisasi yang ditimbulkan alam tanpa ada keinginan saling menguasai untuk hadir sebagai penguasa. Bunyi senar gitar yang berpadu dengan tetes-tetes air membangun jaringan kekuasan yang saling melengkapi satu sama lain.
            Tapi yang terbentuk dari langit (Kekuasaan) hanya lagu (represif), maka timbullah gejolak penolakan “Aku tidak ingin lagu,”  katanya. Kekuasaan yang dipaksakan tentu tidak akan pernah menyentuh hati yang dikuasai. Langit memaksakan lagu yang ia buat sebagai bentuk kebijakan, sementara yang dikuasai tak pernah menginginkannya.
            Setiap individu, tentu memiliki dua hal yang saling menguasai di dirinya. Kadang bisa bekerja sama, kadang saling mengalahkan. Dua hal ini memberikan pengaruh kepada seseorang untuk menjadikan diri kita sebagai objek kekuasaan. Tak seorang pun tahu, apa yang ia inginkan. Setiap orang harusnya bebas menentukan citra dirinya, tanpa terpengaruh oleh kekuasaan, karena dia lah bagian dari kekuasaan tersebut. Mungkin sesuatu yang lepas, setiap orang terkadang terlepas dari harmoni kehidupannya, sehingga menjadi orang yang tak punya arah. Ia terkuasai oleh kekuasaan di sekitarnya. Tanpa memiliki kuasa untuk membangun kekuasaan yang berada di dalam genggamannya berupa not yang tak terkait dengan angin yang datang ke bubungan ketika hampir fajar, maka seseorang tak akan mampu menghadirkan sebuah pilihan. Kalimat ini memunculkan bahwa seseorang akan mencari sesuatu yang terlepas dari dirinya, menguasainya, dan meletakkannya dalam harmonisasi nada. Jika prinsip ini dilanggar maka setiap orang akan terlepas sendirinya dari jaringan kekuasaan yang berada di sekitarnya, seperti: lingkungan sosial, budaya, psikologis, dan lain-lain.
            Setiap orang selalu memiliki keinginan untuk menguasai. Kau selalu menghendaki yang sulit? Ini adalah wujud kegilaan, manusia tidak pernah puas dengan dirinya. Dirinya yang terbatas menginginkan kuasa yang tak terbatas. Dorongan keinginan akan membuat seseorang melakukan cara apapun demi tercapainya tujuan yang diinginkan. Itu kesimpulan perempuan yang tidur di sebelahnya pada dini hari sebelumnya. Kalimat ini menimbul pertanyaan-pertanyaan. Siapakah perempuan itu? istrinya atau perempuan simpanannya. Kata tidur memberikan kita wacana yang beragam. Tidur hanya sekadar tidur, ataukah tidur dalam aktivitas seksual. Pertanyaan-pertanyaan ini semakin menguatkan bahwa tokohnya adalah laki-laki. Keterangan pada dini hari sebelumnya menguatkan bahwa perempuan yang tidur di sebelahnya bukanlah istrinya, karena kalau istrinya setiap hari ia akan tidur bersama, namun kemungkinan perempuan itu adalah istrinya juga terbuka. Pertemuan antara laki-laki dan perempuan tentu mengarah kepada diskursus seksualitas. Orang yang ingin menembus batas-batas atau aturan-aturan yang merupakan kebiasaan tentu memerlukan keberanian untuk berbeda. Orang-orang yang tidak biasa cenderung dianggap sebagai orang gila, meski tidak gila secara makna sebenarnya. Kegilaan ini pun beragam. Ketika seorang sudah menikah dan berani melanggar norma maka secara otomatis orang-orang seperti ini bisa dikategorikan telah melakukan kegilaan.
            Kegilaan berikut dari seorang manusia ketika dia berani menantang Tuhan. Aku selalu berdoa kepada Tuhan yang tak sengaja memunculkan wacana tentang kegilaan manusia. Kalimat ini mengontraskan kata selalu berdoa dan tak sengaja. Dua hal yang bertolak belakang. Tokoh ia menampakkan kegilaan yang berujung pada tujuan pencapaian kekuasaan yang ia harapkan. Wacana penentangan ini semakin diperkuat dengan kalimat Tuhan yang sudah lama mati. Semakin mantaplah, bahwa ia hanya melakukan rutinitas dan sedang mencoba untuk menentang kekuasaan yang menguasai dirinya. Kekecewaan, kegelisahan, kesepian, dan banyak hal-hal yang menghantuinya. Berusaha acuh tak acuh, mengacuhkan segala hal dan ia kembali memetik senar.
            Menjelang matahari terbit, memunculkan wacana perubahan. Perubahan dari sisi gelap kepada sisi terang. Di atas deretan gudang, ia lihat langit memperlihatkan kilat sejenak. Kekuasaan selalu memberikan wacana represif (kilat) meski hanya sekadar menakut-nakuti orang-orang yang dikuasainya. Lampu-lampu menghalaunya lampu-lampu sebagai gagasan-gagasan perubahan dapat membuat orang mampu mengabaikan keputusan penguasa.
            Akan ada petir yang jatuh pada penangkal di sebuah bukit, pikirnya. Jauh di pedalaman, tak tahu ia akan hilang. Orang-orang yang melawan kekuasaan selalu dikekang penguasa, meski banyak pergerakan-pergerakan untuk melawan kekuasaan. Kekuasan akan tetap berada pada puncak tertinggi daam status sosial masyarakat. Meski kadang penentang kekuasaan harus kehilangan nyawanya dan harga dirinya.
            Kekuasaan akan tetap berwarna, kekuasaan itu jaringan bukan hanya didasarkan pada keterikatan pada partai politik tapi saling bersinergi bersama sebuah not membangun jaringan kekuasaan yang memberikan pilihan kepada siapa pun untuk memilih sesuai dengan keinginannya.
            Puisi ini menggambarkan sosok ia, perempuan, dan pengarang. Ia sebagai tokoh sentral memiliki korelasi yang intens dengan setiap wacana yang muncul, sebuah perubahan paradigma kekuasaan yang hanya terkurung oleh tubuhnya untuk keluar dan bersenang-senang. Kekuasaan bukan hanya sekadar aturan namun bagaimana menikmati aturan itu, bahkan menembus aturan-aturan baku. Pertanyaan ini tidak akan pernah terjawab. Kekuasaan akan terus berevolusi dan menjadi lebih liar untuk menemukan kesenangan-kesenangannya.
 
E.        Simpulan
Teori Wacana Foucault memunculkan diskursus atau wacana dalam konteks untuk keluar dari kebiasaan. Dalam makalah ini, dibahas tiga hal besar dari pandangan Michel Foucault, yaitu : kekuasaan, kegilaan, seksualitas, dan tatanan wacana. Keempatnya saling terkait. Seksualitas dan kegilaan adalah bentuk dari sebuah proses untuk mencapai kekuasaan. Sementara, seksualitas adalah hasil dari kekuasaan. Setiap kekuasaan melahirkan pengetahuan, dan pengetahuan akan membuat orang untuk saling menguasai. Sementara, tatanan wacana yang membentuk pola dari wacana yang ditimbulkan oleh kekuasaan, kegilaan, dan seksualitas.
Dalam karya sastra, wacana dipandang sebagai sesuatu yang dapat mengungkapkan fenomena-fenomena yang beragam. Fenomena-fenomena ini dapat mengetahui perilaku seseorang dalam memperoleh kekuasaan. Kekuasaan memberikan ruang untuk membangun jaringan, menyebar di mana-mana, sehingga keterkaitan ini membentuk sebuah sistem yang saling berperan. Seseorang tidak ada yang menguasai yang lain, karena yang lain adalah bagian dari dirinya.
Michel Faucault merumuskan tatanan wacana, sebagai berikut: prosedur eksklusi eksternal, prosedur internal, kondisi aplikasi atau prosedur subjeksi, metodologi, dan analisis wacana. Prosedur eksklusi eksternal terdiri dari dari: pelarangan, pemisahan dan penolakan, dan gagasan benar dan salah. Prosedur internal terdiri dari: komentar, pengarang, dan disiplin. kondisi aplikasi atau prosedur subjeksi terdiri dari: ritual tutur, masyarakat wacana, kelompok-kelompok doctrinal, dan apsosiasi sosial.
Menurut Foucault, langkah-langkah metodologis yang perlu dilakukan bagu analisis wacana, adalah sebagai berikut: 1) prinsip pembalikan dengan melihat adanya suatu pemotongan dan penyaringan makna, 2) prinsip diskontinuitas yang menyangkut kesediaan menempatkan aneka wacana di dalam masyarakat bukan sekadar sebagai yang ditekan oleh wacana utama, melainkan terutama sebagai wacana yang tidak berkesinambungan, 3) prinsip spesifisitas adalah anggapan bahwa wacana merupakan sebuah tindakan kekerasan yang dilakukan manusia terhadap benda-benda, 4) prinsip eksterioritas ini menyangkut perlunya memperhatikan kondisi-kondisi eksternal yang memungkinkan wacana,
Dalam menganalisis wacana, Foucault menggunakan dua arah analisis, yaitu: analisis kritis dan analisis genealogis. Analisis kritis terarah pada kontrol wacana. Analisis genealogis berurusan dengan formasi wacana efektif entah dalam batas-batas kontrol itu, atau pun di luarnya atau di antara keduanya. Apabila tugas kritis berusaha menganalisis proses penyaringan atau pengurusan, serta juga pengelompokkan dan unifikasi wacana. Genealogi mempelajari formasi wacana itu, formasi yang sekaligus tersebar, diskontinus, dan regularitas. Menurut Foucault, kedua tugas tersebut, kritis dan genealogis  pada dasarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. keduanya tidak berdiri sendiri pada sisi yang berbeda-beda.


DAFTAR PUSTAKA

Barry, Peter. 2010. Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya: Beginning Theory. Yogyakarta: Jalasutra.

Carette, Jeremy R. (Ed.). 2011. Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Esai, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.

Faruk. 2008. Pascastrukturalisme: Teori, Implikasi, Metodologi, dan Contoh Aplikasi. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.

Foucault, Michel. 2011. Pengetahuan dan Metode Karya-karya Penting Foucault. Yogyakarta: Jalasutra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sarup, Madan. 2011. Panduan Pengantar Memahami Postrukturalisme dan Posmedernisme. Yogyakarta: Jalasutra.



Read More..

Total Tayangan Halaman