Blog ini masih dalam pengembangan. Berbagi tidak hanya berbentuk materi, tetapi berbagi tulisan pun dapat memberikan kebahagian tersendiri.

PROBLEMATIKA PELUASAN AKSES DI KALIMANTAN TIMUR

Posted by Rizal Effendy Panga Minggu, 03 Maret 2013 2 komentar

A.    Pendahuluan
Peluasan akses pendidikan merupakan salah satu tantangan internal dalam sistem pendidikan nasional. Untuk lebih memahami makna dari judul tersebut, maka perlu dipahami definisi dari peluasan akses pendidikan. Peluasan adalah  proses, cara, atau perbuatan meluaskan atau memperluas. Akses dapat diartikan sebagai jalan masuk. Pendidikan  adalah proses pengubahan sikap dan tata laku seseorarang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa peluasan akses pendidikan adalah proses untuk membuat  pendidikan agar dapat dirasakan oleh seseorang atau kelompok masyarakat.
Bangsa Indonesia yang memiliki kondisi geografis yang beragam yang terdiri ribuan pulau, berbagai suku, etnis, budaya, serta karakter yang berbeda mengharuskan pendidikan bangsa Indonesia mampu menampung seluruh karakter keanekaragaman bangsa. Dari pemahaman inilah, muncul istilah Pendidikan Karakter.
Ki Hajar Dewantara berpendapat tentang pendidikan, bahwa pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan  bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intellect), dan tubuh anak. Komponen-komponen budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak tidak dapat dipisahkan. Hal ini dimaknai bahwa menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan berkarakter merupakan bagian integral yang sangat penting dalam pendidikan. Konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, yaitu: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani sebenarnya juga sarat akan nilai-nilai karakter. Bahkan, ajaran Ki Hajar Dewantara yang menjadi pegangan bagi Perguruan Taman Siswa juga sarat nilai pendidikan karakter. Adapun ajaran beliau, yaitu: Lawan Sastra Ngesti Mulya (dengan ilmu kita mencapai keberhasilan hidup), Suci Tata Ngesti Tunggal (memerlukan kesucian batin, kejernihan pikiran, cita-cita yang luhur, dan ketertiban lahir, atau kedisiplinan nasional untuk mencapai cita-cita mulia), Tetep-Mantep-Antep  (dalam melaksanakan tugas harus memiliki ketetapan hati), Ngandel, Kendel, Bandel, Kandel (harus yakin pada takdir Tuhan, berani, kokoh, kuat lahir batin), Neng-Ning-Nung-Nang (harus tenteram lahir batin) (Samani, 2011: 33-35).
Pendidikan karakter akan menjadikan penyebaran akses pendidikan menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi karena kondisi sosial dan kultur masyarakat yang penuh karakter yang unik dan khas yang memiliki perbedaan dengan daerah lain lebih memberikan pemahaman yang kuat bagi peserta didik.
B.     Kebijakan Peluasan Akses
Dalam amandemen UUD 1945 ke-IV tahun 2002 Tentang Pendidikan Pasal 31 disebutkan: 1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan, 2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya, 3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang, 4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang–kurangnya 20 % dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional, dan 5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai–nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradapan kesejahteraan umat manusia.
UUD 1945 Pasal 31 ini menjadi dasar pijakan bagi sistem pendidikan nasional. Berdasarkan amanat undang-undang, maka peluasan akses pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Hal ini dilakukan karena setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Selain itu, di dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan  Nasional Bab IV Pasal 5 Tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara disebutkan: 1) Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, 2) Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, 3) Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, 4) Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus, 5) Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Salah satu indikator akses pendidikan adalah sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana pendidikan diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 tahun 2007 Tentang Standar Sarana dan Prasarana Sekolah yang mengatur tentang satuan pendidikan, lahan, bangunan gedung, dan kelengkapan sarana dan prasana.
Desentralisasi juga memberikan pengaruh terhadap percepatan peluasan akses pendidikan, sehingga landasan yang digunakan dalam percepatan akses pendidikan adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Di dalam undang-undang ini disebutkan, Pemerintah daerah wajib menyelenggarakan pendidikan dan memberikan alokasi dana dalam penyelenggaraan pendidikan.
C.    Permasalahan Peluasan Akses Pendidikan
Peluasan akses pendidikan memang tidak berjalan mulus. Berbagai rintangan menghadang di setiap tikungan, bahkan dengan terang-terangan mengesampingkan orang lain demi diri pribadi. Dalam UUD 1945 pasal 31 disebutkan setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pernyataan ini diperkuat lagi dengan undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 5 ayat 1 yang berbunyi, “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Masalah pertama yang kita bisa munculkan berkenaan dengan hal di atas, adalah kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang layak. Berbagai upaya pemerintah dalam meningkatkan kesempatan pendidikan sudah ditingkatkan. Pemerintah bahkan mencanangkan wajib belajar 9 tahun, bahkan di beberapa daerah sudah ada yang mencanangkan wajib belajar 12 tahun. Namun kesempatan ini tidak semua orang mendapatkannya. Biaya pendidikan yang tinggi menjadi masalah utama.
Ada anggapan, orang kaya saja yang bisa sekolah, sedangkan orang miskin dilarang sekolah. Pernyataan ini bukan tidak beralasan. Orang kaya mampu membiayai pendidikan anak mereka di mana pun mereka mau, bahkan terkadang ada yang menghalalkan segala macam cara agar anaknya bisa mendapatkan pendidikan di sebuah institusi pendidikan tertentu. Sementara, orang miskin cenderung sulit mengenyam pendidikan yang layak karena tidak mampu membayar biaya pendidikan yang mahal.
Berkenaan dengan kebijakan desentralisasi, kesempatan pendidikan harusnya lebih besar karena setiap pemerintah daerah mengurus penyelenggaraan pendidikan secara otonom dan sudah diatur dalam undang-undang. Namun, permasalahan pendidikan khususnya berkaitan dengan kesempatan dirasakan timpang. Sekolah terbaik cenderung hanya untuk orang-orang kaya dan sekolah pinggiran diperuntukkan bagi yang lain. Padahal, undang-undang telah mengamanatkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.
Dana pendidikan 20 % dari APBN atau APBD hingga saat ini belum dapat dimanfaatkan dengan baik. Pemerintah sudah mengupayakan dengan cara pemberian dana BOS dan Bosda, beasiswa-beasiswa, dan bentuk bantuan pemerintah yang lain. Namun, tidak semua biaya pendidikan yang  bisa dipenuhi oleh pemerintah.
Apalagi jika berbicara tentang melanjutkan ke perguruan tinggi. Di masa Belanda,  anak-anak mempunyai kesempatan yang sama untuk memasuki perguruan tinggi atau universitas asal memiliki kemampuan intelektual, motivasi, dan sumber keuangan yang cukup meskipun mereka berasal dari desa. Namun, jumlah mereka yang mencapai pendidikan pada jenjang perguruan tinggi sangat kecil. Kondisi ini pun, sampai sekarang masih relatif sama. Meskipun pandai, tetapi tidak memiliki sumber dana yang cukup, maka tidak dapat mengenyam pendidikan.
Masalah yang kedua, yaitu sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana menunjang peluasan akses semakin cepat. Sarana pendidikan adalah perlengkapan pembelajaran yang dapat berpindah-pindah. Prasarana pendidikan adalah fasilitas dasar untuk menjalankan fungsi lembaga pendidikan. Sarana dan prasarana tidak hanya yang terdapat di lingkungan institusi pendidikan, namun juga apa saja yang mendukung pembelajaran tersebut, seperti akses transportasi dan akses informasi. Akses transportasi yang baik akan menunjang kelancaran proses pendidikan. Sementara, akses informasi digunakan untuk menambah pengetahuan dan sumber belajar.
Akses transportasi di kota, akan berbeda dengan transportasi di desa. Transportasi di kota cenderung lancar. Berbagai pilihan kendaraan ada. Jalan di kota biasanya terawat dan tentunya membantu kelancaran transportasi. Berbeda halnya dengan di desa, transportasi jarang dan kondisi jalan tidak terawat. Akses transportasi menjadi faktor penting. Sebagai contoh, ada sebuah sekolah yang terletak di tengah kota dan sebuah sekolah yang berada di pinggiran kota. Kendaraan umum yang melintas tentunya banyak ke arah kota. Kecenderungan siswa yang mengalami terlambat ketika masuk sekolah lebih kecil dibandingkan siswa yang sekolah di pinggiran kota. Kondisi arus lalu lintas biasanya menjadi alasan bagi siswa-siswa yang terlambat.
Akses informasi dalam pendidikan juga merupakan faktor penting. Percepatan informasi juga mempengaruhi majunya institusi pendidikan, yakni sekolah. Salah satu akses informasi adalah tersedianya jaringan internet. Melalui internet, seseorang berada di mana pun dapat saling bertukar pikiran dan berbagi informasi. Jaringan internet ini juga bisa digunakan sebagai sumber belajar. Jika dibandingkan daerah yang memiliki jaringan internet dengan daerah yang tidak memiliki jaringan internet, maka perbedaan dari percepatan akses ini jauh berbeda. Akses informasi  menunjang percepatan kebijakan-kebijakan pendidikannya dan evaluasinya.
Masalah ketiga, berkaitan dengan tenaga pendidik. Masalah tenaga pendidik ini dilihat dari kualitas dan penyebaran guru di seluruh wilayah. Berkaitan dengan kemampuan pendidik, guru yang berada di kota lebih cepat mendapatkan informasi sehingga banyak cara untuk meningkatkan kemampuannya. Pelatihan-pelatihan sering dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme guru. Media belajar banyak tersedia. Pertemuan guru-guru untuk berbagi pengalaman mengajar dan informasi terbaru berkenaan dengan mata pelajaran yang diampu. Berkenaan dengan penyebaran, para guru cenderung lebih suka mengajar di kota daripada mengajar di desa. Hal ini diakibatkan karena minimnya fasilitas yang ada di desa. Selain keengganan, masalah yang terjadi baik di kota terlebih lagi di desa adalah guru mengajar mata pelajaran yang bukan bidang ilmunya. Pola ini jelas tidak menguntungkan untuk siswa dan institusi pendidikan. Ketidaksesuaian ini terjadi karena guru hanya menumpuk di kota sehingga di desa-desa kekurangan guru, sehingga guru di desa mau tidak mau harus mengampu berbagai mata pelajaran.
Dari data secara nasional, tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah. Pada awal periode Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMPN) tahun 2004-2009, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk usia di atas 10 tahun yang mempunyai tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs/sederajat baru mencapai sekitar 36,2 persen. Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7-12 tahun pada tahun 2004 sebesar 96,42 persen, usia 13-15 tahun sebesar 81,01 persen, dan 16-18 tahun sebesar 50,97 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 19,0 persen penduduk usia 13-15 tahun dan sekitar 49 persen penduduk usia 16-18 tahun yang belum pernah sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Indikator lain yang sering dipakai untuk menggambarkan tingkat partisipasi pendidikan adalah angka partisipasi kasar (APK) dan angka partisipasi murni (APM). APM SD/MI/sederajat baru 27-3 mencapai 94,12 persen. Sementara itu, APK SMP/MTs/sederajat adalah sebesar 81,22 persen dan APK SMA/sederajat baru mencapai 49,01 persen. Angka partisipasi kasar lebih rendah lagi pada jenjang pendidikan tinggi yang hanya mencapai 14,62 persen. Itu karena, karena masih kurangnya perhatian terhadap pentingnya pendidikan bagi anak sejak usia dini, angka partisipasi pendidikan anak usia dini (PAUD) baru mencapai 25,99 pada tahun 2004. Sementara itu, angka buta aksara penduduk usia 15 tahun ke atas masih sebesar 10,12 persen (Susenas 2003). Buta aksara lebih banyak terjadi pada penduduk usia 45 tahun ke atas, penduduk perempuan, tinggal di perdesaan atau daerah terpencil, dan berasal dari keluarga miskin, yang pada umumnya memiliki minat yang lebih rendah untuk mengikuti pendidikan keaksaraan.
Kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat. Kesenjangan pendidikan lebih terlihat pada jenjang SMP/MTs ke atas. Pada tahun 2003, APS penduduk usia 13-15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya (kuintail 5) sudah mencapai 93,98 persen sementara APS kelompok 20 persen termiskin (kuintail 1) baru mencapai 67,23 persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16-18 tahun dengan APS kelompok termiskin dan terkaya berturut-turut sebesar 28,52 persen dan 75,62 persen. 27-4 Kesenjangan pendidikan juga terjadi antara penduduk perdesaan dan perkotaan. Rata-rata APS penduduk perdesaan usia 13-15 tahun pada 2003 sebesar 75,6 persen, jauh lebih rendah dari APS penduduk perkotaan untuk kelompok usia dan periode yang sama yang sudah mencapai 89,3 persen. Kesenjangan lebih nyata terlihat untuk kelompok usia 16-18 tahun, dimana APS penduduk perkotaan sudah mencapai 66,7 persen sedangkan APS penduduk perdesaan baru sebesar 38,9 persen. Data Susenas 2003 memberikan penjelasan lebih lanjut tentang alasan utama anak putus sekolah yaitu faktor ekonomi, baik karena tidak memiliki biaya sekolah (67,0 persen) maupun karena harus bekerja (8,7 persen). Informasi ini memperkuat data APS di atas, karena masyarakat kota dan penduduk kaya mempunyai pendapatan yang lebih tinggi dari masyarakat perdesaan dan penduduk miskin. Kesenjangan juga dapat ditemukan antardaerah di Indonesia. Tercatat hanya 27, 00 persen kabupaten/kota yang memiliki angka APK jenjang SMP/MTs/sederajat sebesar 95,0 persen atau lebih.
Pada tahun 2004, tidak semua peserta didik dapat mengakses buku pelajaran, baik dengan cara membeli maupun meminjam di perpustakaan. Hal tersebut tentu menghambat penguasaan materi ilmu pengetahuan. Kecenderungan institusi pendidikan untuk mengganti buku setiap tahun ajaran semakin memberatkan orang tua dan mengakibatkan inefisiensi buku-buku di perpustakaan. Sementara itu, pendidikan nonformal belum mampu berfungsi seperti yang diharapkan: (i) sebagai pengganti pendidikan formal, dan (ii) menjadi jembatan dunia sekolah ke dunia kerja.
Manajemen dan tata kelola penyelenggaraan pendidikan belum efektif dan efisien. Dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah memiliki kewenangan sejak proses perencanaan, penentuan prioritas, serta mobilisasi sumber daya yang ada untuk melaksanakan rencana tersebut. Dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih tanggap dalam memenuhi kebutuhan setempat. Namun, desentralisasi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan 27-7 karena belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan termasuk kontribusinya dalam penyediaan anggaran pendidikan. Selain itu, masih terdapat keterbatasan kapasitas kelembagaan di daerah di samping masih belum terlaksananya standar pelayanan minimal yang harus ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan acuan dari Pemerintah.
Alokasi anggaran pendidikan yang masih sangat rendah. Data Human Development Report 2004 mengungkapkan bahwa rata-rata anggaran Pemerintah untuk sektor pendidikan hanya sebesar 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (7,9 persen), Thailand (5,0 persen), dan Filipina (3,2 persen). Padahal, Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas mengamanatkan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana pendidikan minimal sebesar 20 persen dari APBN dan 20 persen dari APBD. Pada tahun 2004, proporsi anggaran pembangunan pendidikan baru mencapai sekitar 6,6 persen dari APBN.
D.    Indikator Peluasan Akses
Dalam Peluasan akses terdapat beberapa indikator, yaitu angka penyerapan kasar (ASK), angka melanjutkan (AM), angka partisipasi kasar (APK), angka partisipasi murni (APM), angka partisipasi murni usia sekolah (APMUS), ratio pendidikan, tingkat pelayanan sekolah (TPS), perkembangan angka melanjutkan dan tidak melanjutkan, dan Perkembangan APK, APM, dan APMUS.
E.     Peluasan Akses Pendidikan di Kalimantan Timur
Kalimantan Timur adalah salah satu provinsi di Indonesia yang berada di Pulau Kalimantan dengan ibukotanya Samarinda. Luas Provinsi Kalimantan Timur 245.237,80 km2. Jumlah penduduk Kalimantan Timur sebanyak 3.350.586 jiwa dengan kepadatan penduduk 14,5/km². Kalimantan Timur berbatasan langsung dengan Sabah dan Serawak yang merupakan bagian dari Malaysia di sebelah utara. Di sebelah selatan, provinsi ini berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Di sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Barat. Di sebelah Timur berbatasan dengan Laut  Sulawesi dan Selat Makassar. Provinsi Kalimantan timur memiliki 4 kotamadya, yaitu Samarinda, Balikpapan, Tarakan, dan Bontang. Selain itu, provinsi ini memiliki 9 kabupaten, yaitu Paser, Panajam Paser Utara, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Berau, Bulungan, Nunukan, Malinau, dan Tana Tidung.
Sehubungan Peluasan akses pendidikan di Kalimantan Timur, maka di lihat dari lembaga pendidikan dari jenjang TK hingga SMA pada tahun 2009 dapat digambarkan melalui table berikut ini:


 Pada jenjang pendidikan tinggi, di Kalimantan Timur terdapat 2 universitas negeri, 1 sekolah tinggi negeri, dan 1 politeknik negeri. Sementara pada perguruan tinggi swasta, terdapat 7 universitas, 1 institut, 19 sekolah tinggi, 1 politeknik, dan 17 akademi.
Dalam membangun pendidikan di Kalimantan TImur, selalu dilandaskan pada Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2010-2014 yang menempatkan lima pilar pendidikan sebagai acuan, yaitu:
1.      Ketersediaan sarana pendidikan
2.      Kemampuan murid atau orang tua untuk mendapatkan akses terhadap sarana pendidikan
3.      Mutu pelayanan sarana pendidikan
4.      Kesetaraan dalam pendidikan
5.      Keterjaminan empat pilar sebelumnya dapat berjalan dengan baik
Kondisi obyektif pendidikan Kalimantan Timur sejak otonomi daerah menunjukkan kemajuan. Jumlah guru mencapai lebih dari 60 ribu orang yang melayan 850 ribu siswa pada semua jenjang pendidikan di 5600 sekolah yang tersebar dari pesisir hingga pedalaman dengan luas wilayah lebih dari 198 ribu km2 (Ishak, 2010: 3).
Dilihat dari Indikator Kinerja Kunci (IKK) Bidang Pendidikan seperti Angka Partisipasi Kasar (APK), Angka Buta Aksara, dan lain-lain di Kaltim telah melampaui target rata-rata nasional. Data tahun 2009, menunjukkan bahwa 47,98 % guru di Kaltim telah memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau D4. Data ini melampaui target nasional tahun 2009, 37,5 %. Sementara, data kemdiknas tahun 2010 menunjukkan bahwa APK SMA/SMK/MA Kalimantan TImur telah menunjukkan angka 84 % dan menempati urutan ke-empat nasional setelah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Maluku (Ishak, 2010:3).
Di sector infrastruktur sarana dan prasana pendidikan di Kalimantan Timur, masih memerlukan pembenarahan-pembenahan untuk meningkatkan kuantitas maupun kulaitas pembelajaran. Data terbaru yang dihimpun Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur menunjukkan bahwa untuk pencapaian akses, sarana pendidikan standar sudah relatif lengkap dan memenuhi kebutuhan peserta didik, kecuali untuk daerah-daerah khusus dengan persentase yang dapat dilihat dari presentase APK masing-masing jenjang (Ishak, 2010: 3).
Untuk sarana penunjang peningkatan mutu, Kaltim memerlukan banyak pembenahan. Data terbaru menunjukkan bahwa baru 40% dari sekolah jenjang pendidikan dasar dan menengah yang memiliki perpustakaan yang layak, sekitar 38 % dari satuan pendidikan dan menengah yang memiliki laboratorium IPA, dan laboratorium computer dan multimedia dimana 15 % sudah terkoneksi internet (Ishak, 2010: 4).
F.     Permasalahan Peluasan akses pendidikan di Kalimantan Timur
Kalimantan Timur sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, ternyata belum mampu memaksimalkan potensi yang ada, khususnya pendidikan. Di daerah perkotaan cenderung lebih maju dari pada di daerah pinggiran, terlebih lagi di daerah pedalaman. Berbicara tentang daerah perkotaan berkenaan tentang Peluasan pendidikan tidak perlu kita soroti lagi karena kita dapat berasumsi bahwa daerah perkotaan cenderung lebih pesat pembangunannya dan akses pendidikan mudah didapat baik, akses transportasi, akses informasi, dan sarana dan prasarana pendidikan jauh lebih lengkap.
Berbicara Peluasan akses pendidikan, tentunya kita berangkat dari daerah perkotaan sebagai pusat sentral menuju ke berbagai penjuru daerah yang masuk dalam wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda sebagai ibukota provinsi merupakan akses tercepat baik dari segi pengambilan kebijakan maupun penerapan kebijakan pendidikan. Dari samarinda, dalam hal ini Dinas Pendidikan Provinsi Kalimantan Timur meneruskan informasi ke kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Timur.
Masalah pertama, akses informasi. Informasi merupakan hal pokok saat ini. Siapa yang memegang informasi cenderung lebih cepat bergerak dan memacu kreativitasnya untuk menghadapi tantangan dunia pendidikan. Sosialisasi kebijakan secara umum ditetapkan di tingkat provinsi, namun disesuaikan dengan kondisi daerah sesuai kewenangan dinas pendidikan dan kebudayaan kabupaten/kota. Daerah pedalaman cenderung selalu mengalami keterlambatan informasi. Sebagai contoh, sosialisasi seleksi beasiswa S2 guru RSBI Kaltim yang bekerja sama dengan Universitas Negeri Surabaya dan Universitas Negeri Malang. Guru-guru di Samarinda lebih dulu mendapatkan informasi tersebut dan secara prosedur guru-guru di Samarinda melaksanakan sesuai aturan yang berlaku. Berbeda dengan daerah kabupaten/kota yang lain, informasi yang mereka terima cenderung lebih lambat. Keterlambatan informasi ini juga cenderung menghambat proses seleksi sehingga jadwal yang ditetapkan harus mundur. Hal ini juga memberikan kesan tergesa-gesa. Pengumpulan berkas dari daerah yang lambat tentunya juga berkaitan dengan informasi yang lambat diterima oleh guru-guru calon penerima beasiswa tersebut. Bahkan, ada beberapa guru yang tidak mengumpulkan berkas pun harus diambil karena menutupi kuota yang diperlukan.
Masalah kedua, akses transportasi. Kalimantan Timur yang merupakan daerah kawasan hutan hujan tropis memerlukan sarana transportasi sebagai pendukung keberlangsungan interaksi sosial kemasyarakatan. Transportasi tradisional yang digunakan oleh masyarakat pedalaman berupa ces, sejenis perahu. Beberapa daerah yang sudah ada jalan penghubung sudah menggunakan mobil, sepeda motor. Namun ada beberapa daerah yang tidak mampu ditembus melalui jalur darat dan air, daerah ini harus menggunakan jalur udara. Seperti daerah Long Apung dan Krayan. Dari kondisi ini, anak-anak dari daerah pedalaman cenderung tidak begitu mementingkan pendidikan hingga ke jenjang pendidikan tinggi, hanya sebagian kecil dari mereka yang menyadari arti pentingnya sebuah pendidikan.
Masalah ketiga, persebaran perangkat pendidikan, yaitu: Sekolah, guru, sarana, dan prasarana pendidikan. Daerah perkotaan cenderung lebih banyak lembaga pendidikan. Jumlah sekolah yang banyak juga dipengaruhi oleh jumlah penduduk  di suatu daerah. Daerah yang lebih padat penduduknya tentunya memerlukan sekolah yang sesuai dengan jumlah penduduk untuk menampung siswa-siswi di daerah tersebut. Jumlah sekolah yang banyak juga memerlukan kehadiran guru yang berkompeten dibidangnya. Untuk tujuan yang lebih baik sarana dan prasarana pendidikan pun harus memadai demi mencapai tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Daerah perkotaan sekolah cukup memadai meski tidak merata namun guru-guru di perkotaan sebagian besar sesuai dengan bidang yang diampu. Sementara, di daerah pedalaman guru mengajar apa saja. Kadang-kadang para guru di pedalaman mengajar yang tidak sesuai bidangnya. Kalau disuruh memilih, guru-guru lebih suka megnajar di daerah perkotaan daripada di pedalaman. Fasilitas yang ditawarkan di perkotaan lebih menggiurkan daripada di pedalaman meskipun tidak selalu berupa materi.
G.    Analisis Kebijakan Pendidikan di Kalimantan Timur
Kebijakan-kebijakan pendidikan berkaitan dengan Peluasan akses pendidikan di Kalimantan Timur, adalah sebagai berikut:   
1.   Pendidikan gratis dan Wajib belajar 9 tahun.
2.   RSBI
3.   Sertifikasi Profesionalisme Guru dan Insentif Guru
Pendidikan gratis di wilayah Provinsi Kalimantan Timur sudah dilaksanakan di beberapa kabupaten/kota, yaitu: Paser, Kutai Kartanegara, dan Kutai Timur. Penerapan pendidikan gratis mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Secara sepihak pendidikan gratis akan membantu rakyat yang tidak mampu untuk terus bersekolah minimal wajib belajar 9 tahun sesuai kebijakan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Namun, jika dilihat dari sisi yang lain, kebijakan pendidikan gratis ini justru menimbulkan efek-efek yang tidak baik. Golongan mampu tidak membayar uang pendidikan, sementara mereka memiliki dana untuk mendukung pendidikan. Selain itu, gratis tidak selamanya memberikan semangat untuk motivasi bersekolah.
Motivasi itu bukanlah lahir dari kegratisan sebuah institusi pendidikan namun berasal dari diri masing-masing siswa. Meski gratis, banyak juga siswa yang masih membolos, sering terlambat, tugas-tugas mata pelajaran terbengkalai. Penyamarataan ini seharusnya tidak diberlakukan. Alangkah baiknya, jika dana yang ada dapat digunakan secara tepat sasaran. Orang-orang kaya tetap membayar biaya pendidikan, sehingga mampu memberikan subsidi silang bagi mereka yang tidak mampu membayar namun memiliki semangat yang tinggi untuk meningkatkan pendidikan pada diri mereka.
Wajib belajar 9 tahun merupakan wujud perhatian pemerintah kepada rakyatnya dalam bidang pendidikan. Semakin berpendidikan seseorang, maka dia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Meskipun tidak menjamin orang yang memiliki pendidikan tinggi memiliki akhlak yang baik karena berkenaan dengan akhlak bergantung lingkungan keluarga yang mendidiknya dan si anak memang memilih untuk menjadi orang yang berakhlak mulia.
Kebijakan kedua yang ingin penyaji soroti adalah Rintisan Sekolah Berstandar International (RSBI). RSBI akhir-akhir ini sedang naik daun. Pamornya mengalahkan para artis yang sedang manggung karena ini berkaitan dengan gengsi. Seorang siswa yang menjadi siswa sekolah RSBI tentunya memiliki kepercayaan diri yang lebih dibandingkan siswa yang sekolah di luar sekolah RSBI. Jika dicermati, apa sebenarnya yang dimaksud dengan standar internasional. Apakah ketika menggunakan bahasa Inggris sudah bisa dikatakan berstandar internasional. Kalau penggunaan bahasa Inggris dijadikan standar dalam sekolah RSBI, maka seluruh sekolah di Jepang bukan termasuk sekolah RSBI. Hal ini terjadi karena negara Jepang menggunakan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan, sedangkan bahasa Inggris sekadar pendamping. Uniknya, banyak sekolah-sekolah di Jepang yang diakui sebagai sekolah berstandar international (SBI) bukan hanya sekadar rintisan. Lalu, mengapa sekolah rintisan sekolah berstandari international di Indonesia harus memaksakan diri menggunakan bahasa Iggris sebagai bahasa pengantar utama di kelas yang belum tentu langsung dipahami oleh peserta didik karena sebelum memahami materi yang disampaikan secara mendalam, peserta didik harus memahami makna yang disampaikan oleh gurunya yang belum tentu pengucapannya benar.    
Kebijakan yang ketiga berkaitan dengan sertifikasi profesionalisme dan insentif guru. Sertifikasi merupakan cara pemerintah untuk memberikan penghargaan yang tinggi kepada para guru. Selain itu, pemerintah daerah juga memberikan insentif sebagai pemacu kinerja guru. Secara kebijakan tidak ada yang salah dalam penetapan kebijakan ini. Namun, jika kita mau melihat secara detail. Banyak guru menghalalkan segala cara agar namanya masuk dalam daftar guru yang akan disertifikasi. Selain itu, tujuan untuk meningkatkan profesionalisme pun tidak terlaksana karena guru-guru yang telah bersertifikasi pun tidak mengalami perubahan pola mengajar. Pola-pola lama masih terus digunakan sehingga hasil pendidikan pun tidak mengalami perubahan. Sertifikasi hanyalah sebagai peningkatan kesejahteraan guru namun bukan sebagai alat ukur untuk keberhasilan pendidikan. Padahal tujuan sertifikasi agar guru dapat meningkatkan profesionalismenya di bidang pendidikan. Pemberian insentif guru pun harusnya memberikan semangat kepada para guru untuk berinovasi, bukan hanya sekadar menikmati fasilitas namun tak pernah memberikan perubahan yang berarti bagi dunia pendidikan.
H.    Saran Terhadap Kebijakan di Kalimantan Timur
Pendidikan gratis tidak perlu diterapkan karena justru bukan keadilan yang kita dapatkan. Bantuan pendidikan seharusnya diberikan terarah dan tepat sasaran. Orang tua, sekolah, dan pemerintah dapat bekerjasama untuk saling menunjang khususnya persoalan dana pendidikan dengan cara memberikan bantuan kepada siswa yang kurang mampu namun bersemangat dalam belajar. Selain itu dana yang ada bisa dialihkan untuk melengkapi sarana pendidikan yang kurang memadai daripada diberikan secara gratis namun tidak tepat sasaran. Fasilitas pendidikan ini diharapkan mampu mendongkrak semangat siswa untuk belajar, seperti akses internet, buku-buku pelajaran, dan alat-alat penunjang pembelajaran. Subsidi silang antara yang kaya dan tidak mampu justru dirasakan lebih adil dan hubungan sosial dan kepedulian dengan sesama akan semakin  terasah.
RSBI jangan hanya digunakan sebagai ajang untuk gengsi belaka. Bangsa kita ingin seperti bangsa lain agar pendidikan kita diakui di dunia internasional. Konsep RSBI harus diperjelas. Pendidikan tetap harus maju, namun kita juga harus menyiapkan pondasi yang kokoh, bukan hanya sekedar ikut-ikutan belaka. Untuk mencapai standar dan diakui secara internasional, bangsa kita harus menyiapkan segala perangkatnya dengan matang dan harus memiliki ukuran yang jelas, bukan hanya didasarkan pada penggunaan bahasa Inggris semata. Apa bedanya sekolah RSBI kita saat ini dengan sekolah bilingual jika hanya didasarkan pada bahasa Inggris semata. Pendidikan di Jepang dan di China meski menggunakan bahasa negara mereka tetap diakui oleh dunia internasional. Lalu, mengapa kita tidak bisa mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan kita dan tetap meraih standar internasional yang kita harapkan.
Sertifikasi guru dan insentif guru merupakan penunjang bagi kelancaran dunia pendidikan. Hal ini sesuai dengan prinsip manusia sebagai homo economicus, bahwa manusia kecenderungan memikirkan perut terlebih dahulu daripada yang lain. jika hal ini terpenuhi maka kecenderungan untuk berkreasi jauh lebih tinggi. pemberian sertifikasi guru dan insentif guru tentunya mengharapkan guru mampu menciptakan inovasi pembaharuan. Sebagai seorang guru, saya setuju insentif dan sertifikasi guru namun harus diperketat dari segi persyaratan orang yang mendapatkannya. Agar para guru yang mendapatkan sertifikasi guru, benar-benar guru yang professional bukan hanya sekadar guru yang mengajar.
I.       Filosofi Pendidikan di Kalimantan Timur
Filosofi bersifat umum. Sasarannya adalah kesemestaan-universalitas. Filosofi adalah perburuan yang terus menerus terhadap makna, makna-makna yang luas, yang lebih jernih, lebih biasa dirundingkan, dan lebih jelas (O’Neill, 2008: 29).
Ontologi berarti ilmu hakikat yang menyelidiki alam nyata dan bagaimana keadaan yang sebenarnya, apakah hakikat di balik kenyataan ini. Ontologi menyelidiki hakikat dari segala sesuatu dari alam nyata yang sangat terbatas bagi pancaindera kita. Bagaimana realita yang ada ini, apakah materi saja, apakah wujud sesuatu ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan, apakah realita berbentuk satu unsur, dua unsur, ataukah dari unsur yang banyak (Jalaluddin, 2011: 77).
Epistemologi adalah pengetahuan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti apakah pengetahuan, cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenis-jenis pengetahuan. Secara epistemologi, setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya diketahui manusia. Epistemologi membahas proses, syarat, batas fasilitas dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan bagi guru bahwa ia memberikan kebenaran kepada muridnya (Muhammad Noor Syam dalam Jalaluddin, 2011: 78).
Aksiologi menyangkut nilai-nilai yang berupa pertanyaan apakah yang baik atau bagus itu. Dalam definisi yang lain, aksiologi merupakan suatu pendidikan yang menguji dan mengintegrasikan semua nilai-nilai tersebut dalam kehidupan manusia (Muhammad Noor Syam dalam Jalaluddin, 2011: 78).
Peluasan akses adalah salah satu upaya untuk memajukan pendidikan. Dengan berbagai permasalahan Peluasan pendidikan di Kalimantan Timur yang secara operasional sudah mengarah kepada sebuah perbaikan pendidikan. Permasalahan Peluasan akses di Kalimantan Timur. Pendidikan di Kalimantan Timur khususnya Peluasan akses jika dilihat dari segi aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis adalah sebagai berikut:
1.      Secara ontologis, Peluasan akses pendidikan pada hakikatnya memberikan kesempatan yang sama dengan peyelenggaraan sistem pendidikan. Setiap warga negara berhak untuk mengenyam pendidikan yang layak. Peluasan akses pada intinya melayani. Peluasan akses memandang bahwa stiap orang yang ada di Indonesia memiliki hak yang sama untuk merasakan pendidikan seperti di daerah yang telah maju, tidak ada pembedaan, tidak ada pengecualian. Peluasan akses pendidikan diarahkan untuk memenuhi hajat hidup orang banyak
2.      Secara epistemologis, Pemerintah Indonesia melakukan proses untuk memperluas akses pendidikan dengan berbagai cara, bahkan setiap pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola daerahnya dengan menggali potensi kearifan lokal yang merupakan adat istiadat masyarakat. Peluasan akses pendidikan pun harus menggali potensi tanpa harus sama namun merata. Ketidaksamaan ini juga dilatarbelakangi kondisi sosiokultural di masyarakat, sehingga strateginya pun berbeda. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menggali potensi untuk mendapatkan sebuah visi yang ideal untuk memajukan pendidikan.
3.      Secara Aksiologis, Peluasan akses dengan cara kerjanya tentu memerlukan sebuah uji sebagai alat ukur kelayakan dan kebergunaan. Perluasaan akses tentunya berhadapan pada dua sisi, jika berhasil memenuhi keinginan masyarakat di pandang bagus, namun tidak sesuai dianggap tidak bagus. Peluasan akses pendidikan tidak dapat dibicarakan baik dan buruknya tanpa sebuah studi kelayakan. Selain itu, daerah sebaran Peluasan akses harusnya menjalankan prinsip pemerataan pendidikan sehingga seluruh warga merasakan haknya untuk mengenyam pendidikan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menghadirkan sebuah konsep Gerakan Kaltim Cemerlang sebagai wujud untuk menciptak pendidikan yang lebih baik.
Pendidikan di Kalimantan timur sudah mengarah kepada sebuah rekonstruksi pendidikan yang mengacu pada filsafat, yaitu aliran rekonstruktivisme. Hal ini terbukti dengan berbagai perombakan kebijakan pendidikan dengan menyesuaikan dengan kondisi daerah atau kearifan lokal. Wujud desentralisasi dan otonomi ini memberikan ruang kepada kepala daerah untuk memberikan kewenangan untuk mengelola daerah, khususnya pendidikan. Kepala daerah dapat membuat gebrakan yang berbeda dengan daerah lain. Sebagai contoh: di  Kalimantan Timur, membuat gebrakan pendidikan dengan minimal 12 tahun dengan mencanangkan gerakan Kaltim CEMERLANG (Cerdas Merata dengan Prestasi Gemilang). Namun, secara aplikasi di masyarakat, pendidikan di Kalimantan Timur belum mencerminkan sebuah perubahan sesuai visi daerah. Pola-pola perenialisme masih kuat mengakar. Ada anggapan bahwa, pendidikan dulu masih lebih baik dari pendidikan sekarang. Orang dulu lebih pandai dari sekarang, sehingga secara praktik mereka masih menggunakan paham ini dalam menjalankan sistem pendidikan.
 J.      Simpulan
Peluasan akses pendidikan perlu mendapat perhatian yang serius. Perhatian ini bertujuan agar Peluasan yang dilakukan pemerintah untuk mewujudkan pendidikan nasional dapat mencerdakan kehidupan bangsa.  Anggaran 20 %  harusnya menjadi semangat bagi seluruh warga negara untuk terus maju dan mewujudkan pendidikan Indonesia yang maju dan diakui secara international.
Semua warga negara berhak untuk mengenyam pendidikan. Hal ini bisa terwujud jika semua pihak saling mendukung. Masyarakat sebagai komunitas yang besar pun harus peka dan peduli terhadap ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi di sekitarnya. Pemerintah pun harus mendukung dunia pendidikan secara maksimal dan menetapkan anggaran yang jelas dan terukur sehingga dana yang dikucurkan dapat tepat sasaran dan akhirnya menjadikan pendidikan kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Sementara, institusi pendidikan harus terus meningkatkan kemampuannya untuk menjadikan institusi pendidikan di Indonesia menjadi terstandar baik nasional maupun internasional tanpa melupakan budaya banga kita yang beragam.
Berbagai hambatan dalam Peluasan akses pendidikan harus ditanggapi serius oleh pemangku kewenangan dalam hal ini pemerintah. Pemerintah bersama rakyat harus bahu membahu menjadikan pendidikan bukan hanya sekadar gengsi namun sebuah keharusan dalam menjalankan amanat undang-undang negara kita.
Pendidikan di Kalimantan Timur sedang mengalami perubahan besar-besaran, ini tidak terlepas dari peranan kepala daerah untuk memajukan dunia pendidikan sebagai akar untuk membangun tatanan baru yang lebih baik di Kalimantan Timur. Perubahan ini tentu tidak dapat berlangsung secara tiba-tiba. Ada proses yang harus dilaksanakan untuk menghadirkan pendidikan yang ideal sesuai dengan kekinian dan kearifan local di Kalimantan Timur.

DAFTAR PUSTAKA

Ishak, Awang Faruk. 2010. Pendidikan Kini dan Masa Depan di Kaltim. Balikpapan: Pemprov. Kaltim (Makalah dalam Seminar Nasional “Merekonstruksi Sistem Pendidikan yang Holistik Berbasis Ke-Indonesiaan untuk Semua di Hotel Gran Senyiur, Balikpapan, Kalimantan Timur).

Jalaluddin & Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Samani, Muchlas. 2011. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

O’Neill, William F. 2008. Ideologi-ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah. 2009. Paradigma Pembangunan Pendidikan Nasional: Konsep, Teori, dan Aplikasi dalam Analisis Kebijakan Publik. Bandung: Widya Aksara Press.

www.bappenas.go.id/get-file-server/node/8427/  Diakses tanggal 15 Januari 2012, pukul 22.56 WIB.

http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf  Diakses tanggal 15 Januari 2012, pukul 23. 05 WIB.

http://id.wikisource.org/wiki/UndangUndang_Dasar_Negara_Republik_Indonesia _Tahun_1945/Perubahan_IV#Pasal_31  Diakses tanggal 15 Januari, pukul 23.11 WIB.

http://www.psp.kemdiknas.go.id/uploads/Publikasi%20Pendidikan/buku%20saku/bukusaku_0607.pdf  Diakses tanggal 15 Januari 2012, pukul 23.48 WIB.

http://ilyasr26.student.fkip.uns.ac.id/2011/10/07/masalah-pendidikan-di indonesia/  Diakses tanggal 16 Januari 2012, pukul 02.25 WIB.

http://kabar-pendidikan.blogspot.com/2011/04/pembiayaan-pendidikan.html Diakses tanggal 16 Januari 2012, pukul 02.29  WIB.

http://mapendakaltim.blogspot.com/2009/02/data-jumlah-lembaga-tk-sd-smp-dan-smuk.html diakses tanggal 25 Januari 2012, pukul 06.30 WIB.



2 komentar:

Unknown mengatakan...

semangat abang ... semoga dpt mnjdi putra daerah yg dpt membawa kaltim menjadi lbh baik, khususnya di dunia pendidikan.

Rizal Effendy Panga mengatakan...

Semangat...!!!

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman