BAHASA INDONESIA, RAJA ATAU HAMBA SAHAYA
Minggu, 03 Maret 2013
0
komentar
Bangsa Indonesia yang memiliki populasi jumlah penduduk terbesar
ke-4 di dunia merupakan salah satu pendukung untuk mengangkat wibawa bahasa
Indonesia dalam bahasa-bahasa di dunia. Setiap
warga negara Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan,
bahasa pergaulan, dan identitas bangsa. Benarkah? Pertanyaan ini hanya sebagai
penegasan bahwa ada nilai-nilai yang mulai hilang dari masyarakat Indonesia. Kebanggaan
terhadap bahasa Indonesia mulai berkurang. Orang asing lebih tahu Bali daripada
Indonesia. Dulu ketika mereka datang ke Indonesia, mereka belajar bahasa
Indonesia terlebih dahulu, tetapi sekarang tidak perlu lagi mereka lakukan
karena orang Indonesia menyambutnya dengan bahasa Inggris yang merupakan bahasa
keseharian di negara mereka.
Bahasa Indonesia secara undang-undang ditetapkan sebagai
bahasa persatuan, bahasa nasional, dan bahasa negara. Bahasa merupakan alat
untuk menyampaikan ide termasuk konsep nasionalisme terhadap bangsa Indonesia.
Setiap sekolah mencantumkan mata pelajaran bahasa Indonesia sebagai mata
pelajaran wajib bagi setiap pelajar di Indonesia.
Bahasa Indonesia dengan penutur yang besar, namun secara
penggunaan terkalahkan oleh bahasa asing. Berbagai perusahaan lebih dianggap
bergengsi jika menggunakan bahasa asing untuk nama produknya dan setiap warga
negara dari tingkatan masyarakat umum hingga pejabat negara merasa lebih bangga
menggunakan istilah-istilah asing daripada istilah bahasa Indonesia. Hal ini
terjadi karena adanya praanggapan bahwa bahasa Indonesia itu mudah dan adanya
praanggapan bahwa bahasa Indonesia memiliki kelas sosial yang lebih rendah
daripada bahasa asing.
Bahasa Indonesia itu mudah, sehingga mudah dipelajari oleh
seluruh masyarakat Indonesia sehingga terjadi komunikasi multiarah dari berbagai
etnis dan suku yang ada di Indonesia. Kondisi ini seharusnya bukan menjadi penyebab
bahasa Indonesia harus terkalahkan oleh bahasa asing. Sebagai contoh, bangsa
Jepang, Cina, dan Korea Selatan yang tergolong negara maju masih mempertahankan
bahasa mereka. Masyarakat Jepang, Cina, dan Korea Selatan mempelajari bahasa
asing, namun mereka tidak melupakan identitas bangsa mereka. Hal terpenting
dari karakter mereka adalah kebanggaan mereka terhadap bahasa mereka lebih tinggi
daripada bahasa asing.
Jepang sebagai negara maju yang
merupakan negara industri menggunakan bahasa mereka sebagai nama dari
produk-produk mereka, seperti Toyota, Honda, Matsushita, Makita, dan lain-lain.
Di tempat-tempat umum, selalu tertulis bahasa jepang. Kondisi ini juga
mengharuskan orang-orang yang hendak berkunjung ke Jepang harus mempelajari
bahasa Jepang. Selain itu, kondisi ini juga didukung oleh masyarakat Jepang
lebih menyukai menggunakan bahasa Jepang daripada menggunakan bahasa asing.
Sekarang mari kita lihat kondisi bangsa kita, khususnya
kondisi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang dianggap mudah ternyata tak
semudah seperti yang dibayangkan. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak
teraturnya orang berbicara serta terkadang mengunakan istilah yang kurang tepat
dalam penggunaannya. Apalagi jika dikaitkan dengan bahasa tulis. Tidak banyak
orang yang mampu menuliskan idenya dalam bentuk tertulis. Anggapan mudah ini
muncul juga di kalangan pelajar. Mata pelajaran bahasa Indonesia dianggap
sebagai mata pelajaran yang tidak mendapat perhatian utama, meski menempati
posisi utama sebagai mata pelajaran normatif. Siswa lebih mementingkan
pelajaran matematika dan sains yang lebih dianggap bergengsi dan merupakan
simbol orang-orang pintar.
Kondisi bahasa Indonesia yang seharusnya menjadi raja dari
bahasa-bahasa di nusantara karena menjadi fasilitator dari seluruh bahasa di
nusantara agar seluruh warga negara Indonesia dapat berinteraksi dan
berkomunikasi satu dengan yang lainnya. Tampaknya telah bergeser, menjadi hamba
sahaya di rumahnya sendiri. Kedatangan bangsa asing dan politik internasional
membuat bahasa asing khususnya bahasa Inggris lebih dominan. Perbedaan
tingkatan itu hadir karena masyarakat Indonesia sendiri. Penguatan demi
penguatan yang mengagungkan bahasa asing dan mengesampingkan bahasa Indonesia
dilakukan hampir oleh seluruh lapisan masyarakat.
Dulu ketika seorang hendak datang ke Indonesia, mereka
mempersiapkan diri dengan belajar bahasa Indonesia terlebih dahulu. Sekarang
mereka tidak perlu repot-repot mempelajarinya. Di Indonesia mereka bisa
berkomunikasi dengan lancar karena masyarakat Indonesia yang telah bersusah
payah untuk mempelajari bahasa mereka. Sebagai contoh, di Bali dan Yogyakarta
yang merupakan daerah tujuan wisata. Para bule
tidak perlu susah payah karena banyak orang Indonesia yang siap menjadi tour guide.
Selain itu, tempat-tempat umum telah diberi tulisan dalam bahasa mereka
sehingga mereka tak perlu bersusah payah untuk melakukan prosesi sopan santun
karena mereka sudah memahami dengan membaca tulisan tersebut.
Kondisi seperti ini jika dibiarkan terus menerus dapat
memperburuk citra bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dapat kehilangan fungsinya
sebagai identitas bangsa. Jika hal ini terjadi, maka rasa nasionalisme bangsa
kita semakin lama akan semakin terkikis oleh arus globalisasi. Nasionalisme
yang semakin berkurang akan membuat warga negara apatis dan tidak peduli dengan
bangsanya.
Gejala ini sudah bersifat global sehingga tidak mudah untuk
mengatasi permasalahan ini. Perlu dilakukan upaya yang bersifat global dan
menyeluruh. Peran pemerintah sebagai penentu kebijakan sangat besar,
apalagi yang berurusan dengan politik
bahasa. pemerintah sebenarnya bisa memaksakan peraturan untuk mengatur
penggunaan bahasa jika mau. Namun, persoalan bahasa ini tidak hanya persoalan
menuturkan bahasa, namun makna dibalik tuturan dan berbagai kepentingan yang
mengikuti tuturan tersebut.
Pemerintah Indonesia sebagai pemegang kebijakan sebenarnya
telah melihat gejala ini, namun berbagai kepentingan politik baik dalam dan
luar negeri juga turut menentukan dalam pemberlakuan undang-undang bahasa. sampai
hari ini undang-undang bahasa terus dikaji agar tepat sasaran. Undang-undang
ini dapat menjadi aturan yang akan memaksa dan membiasakan masyarakat untuk
menggunakan bahasa Indonesia sehingga tujuan akhirnya sebuah bentuk penyadaran
berbahasa Indonesia. Namun, kelemahannya kesadaran yang didapatkan tidak
alamiah. Ketidakalamiahan ini akan memperlambat proses penyadaran masyarakat
terhadap pentingnya bahasa Indonesia.
Sehingga undang-undang bahasa saja tidak cukup untuk membuat
perubahan yang besar. Masyarakat Indonesia sebagai penutur bahasa Indonesia
jika belum memiliki kebanggaan, maka akan memperlakukan bahasa Indonesia
sebagai bahasa kelas dua. Untuk itu perlu dilakukan sosialisasi penggunaan
bahasa Indonesia dan manfaat yang didapatkan ketika menggunakan bahasa
Indonesia. Upaya penyadaran secara berkala ini cepat atau lambat dapat
mempengaruhi opini publik terhadap pentingnya bahasa Indonesia dalam menjaga
stabilitas negara. Munculnya kecintaan dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia
secara otomatis akan mempengaruhi seseorang untuk mencintai bangsanya.
Sekolah sebagai institusi pendidikan merupakan sarana untuk
melakukan sosialisasi untuk menggunakan bahasa Indonesia dan menanamkan
kecintaan kepada negara. Jika siswa sudah bangga berbahasa Indonesia,
menganggap bahasa Indonesia memiliki posisi penting, memahami tujuan berbahasa
Indonesia, maka kesadaran berbahasa itu akan menjadi semakin kuat. Dalam hal
ini, peran guru bahasa Indonesia juga penting dalam membantu pemerintah dan
masyarakat untuk menyosialisasikan bangga berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia
bisa menjadi raja atau menjadi hamba sahaya di negeri kita bergantung dari
masyarakat penuturnya. Mungkinkah bahasa Indonesia menjadi raja? Jawabannya,
mungkin. Saat ini, berbagai negara sedang berlomba-lomba mempelajari bahasa
Indonesia, bahkan mahasiswa dari berbagai negara kuliah di Indonesia untuk
mempelajari bahasa Indonesia. Kalau bahasa Indonesia dapat menjadi raja, lantas
mengapa kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia menjadikan bahasa Indonesia
sebagai hamba sahaya.
0 komentar:
Posting Komentar